Konten [Tampil]
Senang sekali saya pagi ini 💃💃💃
Pada momen Idul Adha kali ini, akhirnya keluarga saya bisa berqurban. Proses menuju berqurban ini tidaklah singkat. Ada drama-drama kecil yang pada akhirnya lahirlah sebuah hidayah bahwa kami harus berqurban.
Dulu, ketika saya masih bersekolah, terkadang saya sering ikut-ikut bantu menyiapkan daging qurban. Memilah, membungkus, dan sebagainya. Ketika saya membantu, tentulah saya mendapatkan sedikit bagian daging qurban untuk dibawa pulang. Alhamdulillah...
Begitu juga dengan Ayah. Ayah yang menjadi guru di beberapa sekolah, seringkali juga mendapatkan sebagian daging qurban. Jadilah kami makan-makan daging qurban dengan bahagia.
Sampai suatu hari, sekitar 3 tahun yang lalu... seperti biasanya, kami menanti daging qurban. Ibu sudah menyiapkan tusuk sate, bumbu kacang, dan bumbu-bumbu lainnya, sembari berharap datangnya daging qurban.
Saya bersama Ibu |
Ditunggu sehari... dua hari... tiga hari... eh nggak ada yang datang membawakan kami daging qurban. Pun dengan saya dan Ayah yang biasanya membawa daging qurban, saat itu tidak mendapatkannya untuk dibawa pulang ke rumah. Ibu sempat heran sih, kok tumben nggak dikasih? Ya sudahlah, ikhlaskan saja.
Drama seperti ini, berlanjut di tahun berikutnya. Masih sama saja. Tusuk sate setahun lalu, sepertinya harus menganggur lagi karena tidak ada yang ditusuk.
Memasuki tahun ketiga penantian daging qurban, eh njilalah lah kok masih sama saja dramanya 😆 Masih sama, kami mencoba ikhlas. Tetapi di sela-sela kami mengikhlaskan itu, masih terselip rasa penasaran mengapa kami tidak mendapatkan daging qurban.
Suatu hari, saya iseng-iseng bercerita kepada salah satu rekan saya tentang keluarga saya yang menanti daging qurban selama 3 tahun lamanya. Rekan saya itu mendengarkan dengan seksama, lalu ia merespon. Responnya sangat mengetuk hati saya.
"Berarti sudah seharusnya keluargamu berqurban", begitu kata teman saya.
Mata hati saya langsung terbuka. Rasa penasaran saya telah terjawab. Lalu saya istighfar. Tidak sepantasnya saya mengharap pemberian orang lain yang seharusnya diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan.
Jawaban dari rekan saya tadi, segera saya ceritakan ke Ibu sesampainya saya di rumah. Sama. Ibu merasakan hal yang sama dengan saya. Bahwa seharusnya kamilah yang memberi daging qurban, bukan diberi.
Berbekal dari perjalanan panjang kami mendapatkan hidayah 😆, maka kami mulai menabung. Ibu membeli celengan besar. Di luarnya ditulis: korban. Eyalaaaaah 😅 Kami bertekad untuk mengisi celengan tersebut setiap hari.
Kini tibalah saatnya celengan tersebut dibuka. Wuaaaw, mata Ibu berbinar-binar saat mengelus-elus uang hasil celengannya. Alhamdulillah.
Uang hasil menabung itu, dibelikannya seekor kambing. Untuk penyembelihan hewan qurbannya, tentulah tidak dilaksanakan di rumah kami. Hal itu dikarenakan... hmm... rumah kami jomblo.
Maka penyembelihan hewan qurban dan kegiatan printilan lainnya, dilaksanakan di rumah Mbah Uti, yaitu di kecamatan Tempeh, kira-kira 45 menit perjalanan dari rumah kami. Inshaa Allah saudara-saudara akan berkumpul di sana semua.
Ohya, penyembelihannya Inshaa Allah dilaksanakan nanti siang setelah sholat Jumat. Paling enak sih pagi hari yaaa, tapi orang yang menyembelihnya nggak ada kalau pagi, pada repot semua, hehehe. Ya sudahlah yaaa, nggak papa.... yang penting keluarga kami sudah berqurban.
Ohya, qurban kali ini atas nama Ayah. Inshaa Allah tahun depan, dilanjut qurban lagi, atas nama Ibu. Tahun berikutnya, atas nama saya. Kemudian tahun berikutnya, atas nama Adek. Eh tapi saya pengen nabung sendiri ajalah yaaa buat qurban nanti. Masih dua tahun lagi kan? Inshaa Allah kuat nabungnya...
Mohon doanya yaaa 🙏🙏
Terima kasih
Wassalammualaikum wr wb
Sipppppp Semangat mbak ros...........
BalasHapus