Catatan Anies Baswedan Pendidikan yang Menumbuhkan

Posting Komentar
Konten [Tampil]
Assalammualaikum wr wb

Halo, apa kabar? Pernahkah kalian terdiam dan merenung cukup lama tatkala membaca sebuah pesan dari media sosial? Bukaaaan, bukan perihal mantan yang tiba-tiba mutusin lalu galau tujuh hari tujuh malam. Melainkan sebuah pesan berantai yang mampu mengetuk hatimu, yang mampu membuatmu menelan ludah ketika mengaitkannya dengan beragam fakta saat ini.


Pun dengan saya, yang mendapatkan sebuah pesan cukup panjang di salah satu grup whatsapp. Saya kira pesan tersebut sudah tersebar merantai melalui sekali ketukan jari tangan.


Di sini saya tulis kembali. Tujuannya sederhana, hanya untuk menjadi catatan bagi diri saya sendiri. Beruntung jika teman-teman membacanya dan terketuk pula hatinya, merasakan hal yang sama dengan saya.

-----

Catatan Anies Baswedan

Selamat malam...
Berikut ini adalah catatan ringkas dari sambutan Bapak Anies Rasyid Baswedan, mantan Menteri Pendidikan yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Jakarta, saat beliau membuka acara Education Expo ASESI (Asosiasi Sekolah Sunnah Indonesia) di TMII tanggal 29 Oktober 2017. Catatan ini dinukil dari grup ASESI dengan sedikit penyesuaian.

Pendidikan yang Menumbuhkan

Pendidikan adalah tentang masa depan. Pendidikan adalah tentang menyiapkan generasi baru. Pendidikan bukanlah membentuk, tapi pendidikan adalah menumbuhkan. Karena ia menumbuhkan, maka hal fundamental yang dibutuhkan adalah tanah subur dan juga iklim yang baik.

Kalau kita membayangkan anak- anak itu sebagai bibit (biji), maka biji itu tidak kelihatan batangnya, tidak kelihatan akarnya, dan tidak kelihatan daunnya karena ia masih biji. Sehebat apapun sebuah biji, maka tidak akan kelihatan semua komponennya. Namun nanti ketika biji tanaman itu sudah tumbuh berkembang, maka akan terlihat batangnya, akan terlihat daunnya, akan terlihat buahnya, akan terlihat bunganya. Tapi saat itu masih berupa biji, belum terlihat.

Kadang-kadang kita melihat biji seperti melihat tanaman yang lengkap. Lalu kita ingin biji ini punya semuanya. Punya bunga dan lainnya. Tentu tidak bisa.

Untuk menjadi tumbuhan yang lengkap, biji itu memerlukan waktu, memerlukan proses penumbuhan. Biji yang baik juga membutuhkan lahan yang subur. Di mana lahan yg subur itu?

Di antaranya:
1. Di rumah. Rumahnya harus menjadi lahan yang subur.
2. Di sekolah.
3. Di antara rumah dan sekolah, yaitu di lingkungannya.

Karena itu, ketika berbicara tentang pendidikan maka bayangkan seperti kita menumbuhkan biji itu. Karena itu saya sering mengatakan jangan gunakan kata membentuk, apalagi kalau akhlaq. Akhlaq itu ditumbuhkan, karakter itu ditumbuhkan tidak bisa dibentuk.

Dulu saat kita sekolah pasti pernah praktek Biologi tentang dua tanaman yang satu dipasang dekat matahari, yang satu jauh dari matahari. Beloknya beda bukan? Bibitnya sama, tanahnya sama, potnya sama, arah tumbuhnya sama atau tidak? Maka jawabannya tidak sama. Jadi, kita mau belok kanan- belok kiri itu bukan daunnya yang dibelokkan, tapi rangsangannya yang berbeda. Cuacanya diatur, lokasinya diatur. Karena itu mengelola sebuah sekolah, mengelola sebuah intitusi pendidikan itu adalah mengelola rekayasa.

Sebagai contoh, di rumah kita bisa menjadikan anak kita menjadi anak yang individualis atau anak yang dekat dengan saudara-saudaranya.

Misalnya sebuah keluarga dengan empat anak. Kita buat setiap kamar ada kamar mandinya agar semuanya rapi bersih semua. Kamar mandi di dalam kamar. Sementara keluarga yang lain, dengan empat anak juga memiliki rumah dengan kamar mandi satu, di luar kamar. Maka apa yang terjadi? Keluarga yang pertama anak-anaknya tumbuh individualis. Semuanya diselesaikan sendiri. Keluar kamar semua sudah bersih.

Sedangkan keluarga kedua, anak-anak tiap hari rebutan kamar mandi: Ada yang sikatannya lama, ada yg kalau mandi harus diketok-ketok, ada yang sering samponya ketinggalan. Mereka akan tumbuh berbeda dengan anak-anak di keluarga pertama.

Oleh karena itu jangan bayangkan pendidikan itu sesuatu yang tertulis, dibaca, dihafalkan, lalu diuji. Karena pendidikan itu adalah proses pembiasaan.

Jadi kita bisa merancang anak kita sesuai skenario yang kita buat. Karena itu kemewahan keluarga dan kemewahan institusi pendididkan adalah bagaimana membuat aturan main yang membentuk perilaku.

Saya berharap kita yang bergerak dalam bidang pendididkan memikirkan rekayasa itu. Sekolah kita hari ini: anaknya abad 21, gurunya abad 20, ruang kelasnya abad 19.

Kalau mau memikirkan sekolah dan pendidikan, maka pikirkanlah masa depan. Rekayasalah untuk masa depan. Umat Islam gagal atau berhasil bukan masalah mampu dan tidak mampu, tapi bagaimana cara mengantisipasi perubahan. Ini PR-nya.

Karena itu kalau mengukur keberhasilan anak-anak kita sekarang, kita jangan lihat hari ini. Bijinya dinilai nanti kalau sudah tumbuh baru, akan nampak dan bisa dinilai: biji, daunnya, dan batangnya.

Jangan terlalu puas dengan penilaian hari ini. Penilaiannya besok, karena inilah proses penumbuhan. Sehingga kami berharap Anda yang mengelola bidang pendidikan jangan puas dengan ukuran hari ini dan siapkan masa depan.

Dalam proyeksi pendididkan abad 21, ada 3 komponen yang mendasar:

1. Karakter/akhlaq
a. karakter moral (iman, taqwa, jujur, rendah hati)
b. karakter kinerja (ulet, kerja keras, tangguh, tidak mudah menyerah, tuntas)
2. Kompetensi (berpikir kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif / kerjasama)
3. Literasi/keterbukaan wawasan (baca, budaya, teknologi, keuangan)

Di masa sekarang, dalam ujian anak-anak disuruh menjawab pertanyaan di sebuah kertas. Di masa depan mungkin ujian hanya dengan kertas kosong tanpa pertanyaan.

Tukang pos bersaing dengan teknologi: WA, email. Profesi hari ini belum tentu di masa depan masih ada, sehingga tanyakan kepada anak-anak besok mau membuat apa. Jangan bertanya mau jadi apa.

Pengelola pendidikan jangan terpukau dengan cerita masa lalu, tapi gelisahlah dengan masa depan. Kemenangan itu disiapkan di ruang keluarga dan di ruang kelas.......

-----

Catatan itu, cukup menohok bagi saya. Banyak ilmu yang saya dapatkan dari catatan ringkas ini. Belum lagi, saya tertohok dua kali oleh kalimat yang sama "tanyakan kepada anak-anak besok mau membuat apa, jangan bertanya mau jadi apa".

Ada sesuatu yang harus saya pertanggungjawabkan tatkala menerima pesan itu. Bahwa saya harus membela anak-anak yang dipaksa menjawab "kamu kalau sudah besar mau jadi apa?" Sebisa mungkin saya harus mengalihkan pertanyaan, "kamu kalau sudah besar mau membuat apa untuk Indonesia dan agamamu?"

Yang jelas, melemparkan pertanyaan tersebut di hadapan orang tuanya bagaikan melemparkan diri kepada sarang begal. Ah, hidup nggak seseram itu kok. Saya harus yakin bahwa dengan pertanyaan sederhana, kita mampu membenahi bangsa ini dengan bergotong royong.

Terima kasih sudah membaca hasil keternohokan saya

Wassalammualaikum wr wb

Related Posts

Posting Komentar