Sebuah Pencarian - Baleriano Chapter 21

Konten [Tampil]
sebuah-pencarian


Hari ini matahari bersinar sangat cerah. Aku melangkah menuju sebuah distro yang bernama ‘Dendis’ yang merupakan singkatan dari Denna Distro’s. Distro ini adalah usaha yang dirilis oleh Kak Nara dan Kak Deswita. Bisnis clothing ini cukup ramai. Banyak sekali anak muda yang datang ke distronya Kak Nara. Karena Kak Nara selalu mengikuti trend pasar, jadi isi distronya selalu up to date dan tentu saja semakin banyak anak muda yang membeli pakaian di distronya Kak Nara.

Aku melangkah masuk ke dalam distro. Baru beberapa langkah, ada Kak Deswita yang menyambutku dengan hangat, “Eh, ada Maura... Gimana kabarmu?”

“Baik, Kak..” jawabku sambil tersenyum. Tanpa basa-basi, aku pun menyampaikan tujuanku datang ke Dendis, “Kak, Kak Nara dimana?”

“Ada kok, kamu langsung aja masuk ke ruang keluarga,” jawab Kak Deswita.

Aku pun melangkah menuju ruang keluarga yang berada persis di belakang distronya Kak Nara. Di sana aku melihat Kak Nara sedang asyik menonton acara sepak bola di layar kaca televisi. Seru banget nontonnya, sampai miring-miring mengikuti kelakukan pemainnya. Ah, yang main siapa kok penontonnya ikut-ikutan kayak mau menggiring bola.

“Kak Nara,” panggilku.

Kak Nara yang sedang asyik menonton bola tak mendengarku.

“Kak Nara,” panggilku lagi.

Kak Nara menoleh. Untungnya Kak Nara mendengar panggilanku yang kedua kalinya.

“Eh, kamu, Ra. Sini, duduk,” kata Kak Nara yang mempersilahkanku duduk.

Aku pun duduk di sisi sofa yang berlainan dengan Kak Nara. Kemudian aku menyodorkan sebuah bingkisan yang telah kusiapkan. “Kak, ada bingkisan buat Kak Naraendra Nirwana yang baik hati sebagai tanda terima kasihku karena Kak Nara telah menjaga butikku ketika aku sedang sakit,” ucapku sambil menyerahkan bingkisan kepada Kak Nara.

Kak Nara menerima bingkisan dariku sambil tersenyum.

“Makasih banyak, Ra. Tapi maaf ya, Ra, kalau misalnya ada beberapa hal yang salah. Aku kan nggak begitu paham tentang desain sepatu yang telah kamu kerjakan dan dipesan pelanggan kamu. Aku hanya bisa mengurus orang yang membeli sepatu. Dan untuk orang yang mau ambil desain sepatu, aku sesuaikan dengan catatan kamu tentang pelangganmu. Untuk harganya, yaa maaf banget karena aku ngawur menentukan harga. Tapi semua harga telah aku masukkan dalam pembukuan kok, Ra...” cerita Kak Nara panjang lebar.

Selama aku sakit, maksudnya sakit jiwa sementara, Kak Naralah yang paling berjasa dalam mengurus butikku. Memang dia juga punya distro yang harus dikelolanya, tetapi selama aku sedang sakit ia membagi waktunya untuk mengurus butikku. Kak Deswita disuruh menjaga distronya, sedangkan Kak Nara yang menjaga butikku.

Untuk urusan harga desain sepatu, aku tak mempedulikan berapa harganya. Sebab aku mendesain itu semua hanya untuk kesenanganku melayani pelanggan dan untuk menyalurkan hobiku menggambar.

“Oh ya, Kak,” aku teringat tujuanku datang menemui Kak Nara. “Kak, aku mau nanya.”

“Nanya apa?”

“Davin dimana?” tanyaku tiba-tiba.

Kak Nara terdiam. Dia seperti tidak mau berkata sepatah katapun.

“Kak, Davin dimana?”

“Nggak tahu,” jawab Kak Nara ketus. Bola matanya kembali terarah pada layar televisi.

“Kak, aku serius. Davin dimana?” aku memaksa Kak Nara untuk menjawab rasa penasaranku.

“Untuk apa kamu ingin tahu dimana Davin?” Kak Nara malah balik bertanya.

“Aku ingin meminta maaf pada Davin,” seruku sambil menunduk.

“Aku nggak tahu sekarang Davin ada dimana.”

“Tapi kan Kak Nara sahabatnya Davin? Setidaknya Kak Nara sering berkomunikasi dengan Davin...” cecarku.

“Terakhir kali aku menelepon Davin, nomor ponselnya sudah tidak aktif.”

“Kapan Kak Nara terakhir kali bertemu Davin?”

“Dua hari yang lalu.”

“Bertemu dimana, Kak?” cecarku lagi.

“Di jalan.”

“Lalu?”

“Ya seperti biasa. Kita hanya ngobrol-ngobrol sekedar bertanya tentang kabar. Sudah, segitu saja. Kita nggak bicara terlalu banyak. Soalnya kita sama-sama ada hal yang harus dikerjakan.”

Aku menunduk. Lesu. Aku sama sekali tidak mendapatkan clue untuk mencari dimana Davin berada. Sungguh aku ingin meminta maaf pada Davin.

“Coba kamu tanya ke Radit, dia kan sahabatnya Davin sejak SMA,” kata Kak Nara yang mencetuskan ide cemerlang.
***

Terkadang, manusia butuh yang namanya cinta. Bukan terkadang, tapi pasti. Tanpa cinta, belum tentu manusia bisa hidup. Tentunya cinta dari sang Maha Pencipta yang membuat manusia bisa menghirup oksigen bebas di bumi dan bernafas sepuasnya dengan gratis.

Manusia memang butuh cinta. Berharap ia hadir untuk menyertai kehidupan si anak manusia, mengandaikan ia dalam kesepian dan menginginkan tawanya untuk menyejukkan hati.

Rasa seperti ini akan selalu ada di kala seseorang merasa rindu. Rindu akan seseorang, entah siapapun itu. Yang jelas, rindu adalah penyakit hati yang paling menyakitkan. Apabila tak terbalas. Apabila tak tersampaikan. Dan apabila ia menghilang.
***

Cinta adalah perasaan yang ada dalam hati. Bisa jadi indah bila ada percaya, komunikasi, jujur tanpa dusta.
– Dinni Hayyu Fatmawati - 

Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

Posting Komentar