Surat Cinta Pengantar Kematian

Konten [Tampil]
Siapa dia? Perempuan, memakai baju serba putih layaknya gaun dan berambut panjang… wajahnya cantik, berseri-seri… apakah dia Lasya? Lasya? Untuk apa dia datang kemari malam-malam begini? Kulihat, dia juga membawa sebuah kotak putih. Ada apa dia datang ke kamarku tengah malam begini? Pasti ada sesuatu!

Kulihat, Lasya membuka almari dan meletakkan kotak putih tersebut di dalamnya. Aku bertanya-tanya, apa maksud di balik semua ini? Aku butuh penjelasan, mengapa Lasya sahabatku datang ke kamarku di tengah malam begini dengan membawa sebuah kotak putih?

Aku pun mencoba bertanya kepada Lasya yang sedang menutup pintu almari. Tetapi, saat aku akan bertanya padanya, bibirku seakan-akan tak bisa berbicara. Entah mengapa ini terjadi tak seperti biasanya.

“Amara, tak perlu kau pertanyakan itu semua, aku sebagai sahabatmu hanya ingin berpesan, tolong berikanlah kotak putih yang aku simpan untuk diberikan kepada orang yang selama ini aku sayangi. Dan aku harus segera kembali karena aku sudah dipanggil oleh-Nya”

Maksud kamu apa Sya? Aku masih tak paham dengan ucapan-ucapanmu itu. Sya, apa maksud perkataanmu itu tadi? Lasya tersenyum padaku dan lambat laun ia menghilang… Lasya… jangan pergi Lasya… Lasya…

“Lasya!!!!!!!!!!!!!”

….


Aku terbangun! Aku terdiam, mencoba menelaah apa yang ada di sekitarku. Aku tau ini kamarku dan aku masih mengenakan piyamaku. Dan itu artinya, yang aku rasakan tadi adalah… “Mimpi!”

Aku tadi bermimpi, seingatku Lasya tiba-tiba datang ke kamarku sambil membawa kotak putih, ia berpesan kepadaku lalu ia menghilang. Apa arti dari mimpiku ini ya? Rasanya ada yang janggal, kira-kira apa ya? Oh iya, aku masih ingat kata-kata Lasya tadi ‘Amara, tak perlu kau pertanyakan itu semua, aku sebagai sahabatmu hanya ingin berpesan, tolong berikanlah kotak putih yang aku simpan untuk diberikan kepada orang yang selama ini aku sayangi. Dan aku harus segera kembali karena aku sudah dipanggil oleh-Nya’ apa maksudnya?

***


Tok tok tok…

Siapa ya yang datang pagi-pagi begini? Memang sih, ini hari minggu, jam 7, tapi nggak biasanya ada orang yang mengetuk pintu. atau mungkin, Abdi? Ah, pasti dia mau mengajakku jalan-jalan, yaa mumpung masih pagi…

Segera kuhampiri ruang tamu dan aku membuka pintu. Saat kubuka pintu, ternyata yang datang Wildan, pacarnya Lasya.

“Hei, ternyata kamu Dan, silahkan masuk” aku mempersilahkan masuk.

Wildan pun masuk dan duduk di ruang tamu.

“Ada apa kamu datang kemari? Tumben banget kamu datang ke sini, biasanya kamu ke rumahku bareng Lasya”

“Hmm, aku ke rumahmu cuma mau memberi tau, kalo….”

“Kalo apa?”

“Maaf ya, jangan kaget…”

“Iya” aku mengangguk pasti.

“Kalo…”

Wildan terdiam sejenak.

“Eh, ada Tante” kata Wildan.

Tiba-tiba Mama ku datang, mungkin Mama ingin tau siapa tamu yang datang pagi-pagi begini.“Oh, ternyata Wildan, Tante kira siapa. Mana Lasya?” mama mengambil tempat di sampingku. Rupanya, Mama juga heran kenapa Wildan nggak datang bareng Lasya.

Kulihat, Wildan hanya tersenyum saat menanggapi pertanyaan Mama.“Hmm, begini Amara, Tante, aku ke sini Cuma mau memberi tau sesuatu, kalo…”

“Kalo apa?”

“tapi, Amara jangan kaget ya?”

“Iya…” aku mencoba memahami pinta Wildan agar ia segera mengatakan apa yang sebenarnya ia ingin katakan.

“Tadi pagi, tepatnya jam 3 pagi, Lasya meninggal…”

“Apa!!!”

Lasya meninggal? Lasya meninggal? Lasya meninggal?

Dan seketika itu pandanganku kabur…

***


Mataku sembab. Aku masih saja menangis, tak lain hanyalah menangisi kepergian Lasya, sosok sahabat yang selalu ada untukku, sosok yang penyayang, ramah, suka bercanda dan dia adalah salah satu orang yang bisa mengetahui segala apa yang kurasakan. Bagiku, dia adalah sahabat terbaikku, dan aku berharap tak akan ada orang yang bisa menggantikan kedudukannya di hatiku. Karena, dia telah kutempatkan pada posisi terindah di hatiku. Aku sayang Lasya, tapi kenapa dia meninggalkanku begitu cepatnya? Apa salahku padanya sehingga ia pergi meninggalkanku? Lasya… mengapa kau pergi secepat itu?

“Amara sayang, kita sudah sampai di rumah Lasya, ayo turun” suara lembut Abdi membangunkanku dari lamunanku. Tak terasa, aku melamun sejak dari rumah hingga sekarang.

Dan kulihat, aku memang berada di depan rumahnya Lasya. Aku dan Abdi segera turun dari mobil. Abdi menghampiriku. Ia pun menggandeng tanganku. Ia mengajakku masuk ke rumah Lasya. Aku melihat di depan rumah Lasya, ada bendera berwarna putih yang berpalang hijau, yaitu bendera kematian. Aku tak percaya bahwa sahabatku telah tiada. Dan aku akan percaya apabila aku telah melihat jasadnya di depan mataku.

Aku melangkah masuk bersama Abdi. Banyak orang memakai baju serba hitam sedang duduk bersantai di teras rumah Lasya. Aku menyalami mereka satu persatu. Dan aku bertemu dengan bundanya Lasya, yang kupanggil Bunda Endang. Kulihat, mata Bunda Endang masih terlihat sembab, kasihan bunda. Bunda pasti memikirkan anaknya yang telah tiada. Bunda pasti merasa kehilangan seseorang dalam hidupnya, sama seperti aku yang juga merasa kehilangan seseorang yang sangat berarti untukku.

Abdi dan Bunda Endang mengajakku masuk ke ruang tamu yang kini hanya beralaskan karpet. Kulihat banyak orang membaca doa-doa untuk jenazah. Dan mataku tertuju pada sesuatu yang berada di tengah-tengah ruangan, yaitu sesosok jenazah. Jujur, aku tak sanggup melihatnya, melihat jenazah sahabatku yang sekarang tiada lagi hadir di setiap hariku. Tanpa terasa, kuteteskan air mata ku, air mata kesedihan.

Aku ingin membuka kain penutup wajahnya, agar aku bisa memastikan bahwa ia bukanlah Lasya, karena aku tak berharap dia pergi meninggalkanku. Perlahan, kubuka kain yang menutupi wajahnya. Dan ternyata benar Lasya. Air mataku mengalir dengan derasnya. Aku masih tak percaya bahwa Lasya kini menjadi jenazah. Aku tak percaya bahwa Lasya meninggal!

Abdi langsung memelukku. Aku memeluknya erat, aku menangis di pelukannya. Tapi, tak berapa lama kemudian, aku langsung berlari dan pergi menuju kamar Lasya, berharap agar aku bisa menenangkan diri dan sanggup mengikhlaskan sahabat tersayangku.

Aku menangis di atas tempat tidur Lasya. Aku masih menangis, air mataku semakin mengalir dengan deras, karena aku masih belum merelakan kepergian sahabatku.

Tak terasa, 1 jam telah berlalu, dan 1 jam ini aku menghabiskan waktuku untuk menangisi jenazah. Bodohnya aku! Harusnya, aku merelakan kepergian Lasya, karena sesuatu yang hidup, pada saatnya nanti akan mati, sama seperti Lasya yang seorang manusia, dan mungkin suatu saat nanti, aku akan sepertinya.

Aku pun sadar dan terbangun dari kesedihanku. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mengenangnya. Aku bangkit dari tempat tidurnya dan beranjak menuju meja belajarnya Lasya. Di atas mejanya, tertata rapi buku-buku dan lembaran skripsi. Pandanganku mengarah ke bingkai foto di dinding yang berwarna biru, terdapat fotoku dan foto Lasya yang sedang bermain di taman, aku jadi ingat kenangan itu. Aku pun menuju lemari, tiba-tiba tanganku membuka lemari dan tanpa sadar aku mengambil sebuah kotak putih. Aku ingat mimpiku tadi malam! sebuah kotak putih!

Kubuka isinya, dan di dalamnya terdapat banyak amplop yang berisi surat. Di bagian depan amplop tertulis: untuk yang tersayang, untuk dia yang kucinta, untuk cinta matiku, for my guardian angel, untuk penggugah hatiku, for my prince, untuk kenanganku, dll. Bila kuhitung, ada 61 amplop, banyak ya? Tapi surat ini untuk siapa?

“Amara sayang, apakah kamu akan mengikuti prosesi pemakaman” Abdi memanggilku.

Aku harus ikut! Dan biarkan kotak putih ini kubawa ke pemakaman.

***


“Rumahnya Devo masih jauh ya?” kata Abdi, maklum dia yang menyetir. Lagipula dari rumahnya Lasya menuju rumahnya Devo cukup jauh.

“Nggak kok. Lah ini sudah masuk di perumahannya” jawabku.

“Devo siapa sih?” tiba-tiba Wildan berceletuk.

“Udahlah, nanti ya kamu tau sendiri kok!” jawabku singkat.

“Rumahnya Devo dimana?” tanya Abdi.

“Lurus, belok kanan lalu ada rumah pagar hijau, itu rumahnya Devo”

Abdi mengangguk pasti. Tak lama kemudian, tibalah di rumahnya Devo, mantannya Lasya.

“Ayo turun” ajakku. Abdi pun turun bersamaku, Wildan juga turun dari mobil.

Aku mencoba masuk ke rumahnya, kebetulan pagar rumahnya terbuka dan aku juga melihat Devo yang sedang merawat tanamannya. Devo pun menghampiriku, rupanya ia masih ingat denganku. “Hai Amara, elo udah lama nggak ke sini” sapa Devo.

“Iya, baru bisa sekarang. Oh iya kenalin, ini Abdi pacar gue, dan ini Wildan temen gue.”

“Gue Devo” Devo bersalaman dengan Abdi dan Wildan yang juga disapa hangat dengan devo.

“Oh iya, langsung aja ya, kedatangan gue ke rumah lo, cuma mau ngasihin ini” aku memberikan sebuah kotak putih yang kubawa dari rumah Lasya.

Devo menerimanya dengan tatapan bingung, “Apaan nih”

“Buka aja”

Rupanya Devo semakin bingung saat ia melihat ada banyak surat. “Ini buat gue?”

“Iya, dari Lasya”

“Lasya? Buat apa dia nulis beginian buat gue? Dia kan tau kalo gue udah jadi mantannya”

“Iya, meski elo adalah mantannya, tapi dia masih tetap sayang sama elo” jelasku.

“Am, aku? aku kan pacarnya Lasya?” kata Wildan saat dirinya tau bahwa yang disayangi Lasya adalah Devo, mantannya.

“Iya, maaf ya Dan. Selama ini Lasya lebih sayang Devo daripada kamu” aku hanya bisa tersenyum kepada Wildan. Aku yakin Wildan pasti bisa mengerti dengan keadaan yang menimpanya, bahwa Lasya tak sepenuhnya menyayanginya.

“Tapi Am, gue nggak pernah sayang sama Lasya!” bentak Devo sembari melemparkan kotak putih milik Lasya. Surat-suratpun berhamburan dan berserakan di teras rumah Devo. Devo berlalu dan masuk ke rumahnya. Wildan yang merasa tertindas, tak berburuk hati, dia memungut satu persatu surat milik Lasya, orang yang disayanginya.

Aku membantu Wildan memungut surat-surat yang masih berserakan. Wildan masih sedih, kulihat ia memeluk kotak putih milik Lasya.

Loh? Kok berbeda? Ah, rupanya aku salah paham.Aku harus mengatakan sesuatu yang sebenarnya, “Dan, perlu kamu tau bahwa cinta terakhir Lasya adalah kamu”

“Bagaimana kamu bisa bilang seperti itu? Sebelumnya kamu lebih membela Devo”

“Surat ini adalah amanat untukku dan aku harus memberikannya kepada orang yang disayangi Lasya. Pada awalnya, aku berfikir bahwa Devo lah yang disayangi Lasya, ternyata bukan Devo, tapi kamu”

“Bagaimana kamu tau?”

“Aku baru mengetahuinya setelah aku melihat dengan seksama sebuah nama yang tertulis di bawah kotak putih itu dan aku baru mengetahuinya baru saja, saat aku membantumu memungut surat-surat milik Lasya. Kalau kamu tidak percaya, silahkan saja kamu cek sendiri”

Wildan mencoba membalikkan kotak putih yang ada di tangannya dan ia melihat namanya tercantum di dasar kotak putih milik Lasya.

Wildan tersenyum.

“Aku sayang Lasya, dia adalah cinta pertama dan terakhirku…” kata Wildan.

“Aku sayang Lasya, dia adalah sahabat sejatiku…” ucapku seraya tersenyum kepada Abdi. “Aku juga sayang Abdi ku kok” ^-^


TAMAT

cerpen-surat-cinta-pengantar-kematian

Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

Posting Komentar