Pantai Watu Ulo dan Papuma Beserta Legendanya (2 of 3)

2 komentar
Konten [Tampil]
Assalammualaikum wr wb

Halo, apa kabar? Semoga teman-teman sehat dan berbahagia selalu yaa...

Pagi ini, saya masih melanjutkan catatan kemarin. Iya, ini catatan kedua tentang kegiatan Famtrip Jember 2017. Catatan sebelumnya, bisa baca di sini: Museum Tembakau, BIN Cigar dan Puslit Kopi Kakao


pantai-watu-ulo
(foto oleh Nana Warsita)

Pantai Watu Ulo

Jember memang terkenal akan pantainya yang indah. Saya pun tidak memungkiri itu. Ada sederet pantai indah di yang berjajar di sisi selatan Jember, antara lain Pantai Puger, Pantai Malikan (Tanjung Papuma), Pantai Watu Ulo, Pantai Payangan, dan Pantai Nanggelan. Pantai yang paling saya favoritkan adalah Pantai Payangan.

Namun pada kesempatan kali ini, saya dan teman-teman akan jelajah Pantai Watu Ulo dan Pantai Malikan. Kami tiba di Pantai Watu Ulo sekitar pukul 4 sore. Alhamdulillah cuaca cukup cerah.
pantai-watu-ulo
Pantai Watu Ulo (dok. pribadi)
Ketika di Pantai Watu Ulo, Mbak Prita alias si bumil bertanya: opo'o kok dijenengi watu ulo? (Kenapa dinamakan Watu Ulo?)

Iku loh, Mbak... Onok watu dowo guede... ndek pinggir pantai... (Itu loh, Mbak... Ada batu besar yang panjang... ada di pinggir pantai)

Saya pun bergegas mengajaknya mendekat ke batu besar yang panjang. Kalau dilihat lebih jeli, maka akan terlihat struktur batu yang menyerupai sisik ular. Ibarat kata, bebatuan itu hampir mirip dengan ular yang sangat besar dan panjang.

Eh, konon katanya, ada cerita mistis di balik Pantai Watu Ulo. Orang-orang setempat percaya bahwa wilayah Pantai Selatan dihuni oleh Nogo Rojo yang berwujud ular raksasa. Nogo Rojo ini yang menguasai wilayah pantai ini memakan semua hewan yang ada di dalamnya, sampai-sampai masyarakat setempat tidak mendapatkan makanan dan penghasilan dari laut.

Lantas, kala itu datanglah dua orang pemuda nan gagah yang bernama Raden Said dan Raden Mursodo. Kedua pemuda yang bersaudara tersebut merupakan anak angkat dari Nini dan Aki Sambi, sepasang suami istri yang sudah sepuh. Raden Said dalam cerita ini, diyakini sama dengan Raden Said yang nantinya dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

Singkat cerita, legenda mengatakan bahwa kedua pemuda tersebut memancing di tempat Nogo Rojo tinggal. Dikarenakan semua hewan di sana telah dimakan oleh Sang Ular Raksasa, maka kedua pemuda tersebut tak berhasil mendapatkan ikan satu pun. Hingga akhirnya, kail Raden Mursodo berhasil mengait seekor ikan yang disebut ikan mina.

Ikan mina itu rupanya bisa berbicara. Dia meminta agar dilepaskan dan tidak dibunuh untuk dijadikan makanan. Sebagai gantinya, ikan mina tersebut akan memberikan sisik yang bisa berubah menjadi emas untuk Raden Mursodo. Raden Mursodo menyetujuinya dan melepaskan ikan mina itu kembali ke laut.

Namun tak berapa lama kemudian, ternyata muncullah Nogo Rojo dan langsung memakan ikan mina yang sudah dilepaskan oleh Raden Mursodo. Geram, Raden Mursodo segera melawan Sang Ular Raksasa dan membelah tubuhnya menjadi tiga bagian. Inilah yang menjadi asal-muasal terbentuknya Watu Ulo di pantai Jember 😅

Teman-teman boleh percaya atau tidak. Yaa namanya saja legenda. Eh lanjutin dikit baca legendanya.

Saking besarnya ular tersebut, tiga bagian ular raksasa itu terpencar. Bagian badannya berada di Pantai Watu Ulo Jember, bagian kepalanya berada di Grajakan Banyuwangi, dan bagian ekornya berada di Pacitan. Potongan tubuh Nogo Rojo itulah yang kemudian hingga saat ini dipercaya menetap di pantai Watu Ulo dan menjelma menjadi batu-batuan yang menjorok ke laut.
 
pantai-watu-ulo
Pertama kali foto di Pantai Watu Ulo (dok. pribadi)

Pantai Pasir Putih Malikan (Papuma)

Pantai Watu Ulo, bersebelahan dengan Pantai Pasir Putih Malikan atau yang sering disebut dengan Papuma. Kedua pantai ini hanya dibatasi tebing, tapi tebingnya tinggi banget. Wisatawanpun harus melewati tebing yang tinggi banget dan berkelok-kelok itu. Kalau lewat sini, harus hati-hari dan banyak doa deh.
 
Sesampainya di puncak tebing, kami takjub sekali dengan pemandangan yang ada. Lautan birunya sangat menenangkan. Pantainya juga membuat terpukau. Terlihat warna-warni perahu di atas pasir putih, yang berbatasan langsung dengan laut lepas. Kami tak sabar untuk buru-buru tiba di pantainya langsung.

papuma-jember
Keindahan bentangan Papuma (foto oleh Fajar Yufian)

Ini bukan kali pertama, kedua, ketiga, dst saya berkunjung ke Pantai Papuma. Semenjak saya SMP, saya sudah sering ke sini. Dulu Pantai Papuma menjadi  salah satu destinasi favorit keluarga saya saat liburan. Nggak tau tuh, Ibu sama Ayah betah banget berkunjung ke Pantai Papuma. Yaaa, memang nggak dipungkiri sih, bahwa Pantai Papuma menyuguhkan pemandangan yang subhanallah. Nggak dipungkiri pula bahwa banyak orang yang datang ke Papuma karena keindahannya.

papuma-jember
Ning Jember di Papuma

Yang membuat cantik pemandangan Pantai Papuma adalah karang-karangnya yang tinggi dan besar. Kalau laut sedang surut, teman-teman bisa melihat jelas karang-karang yang indah itu. Karangnya itu serupa pulau, ada di tengah laut. Ada 7 karang besar yang terdapat di Pantai Papuma. 5 di antara 7 karang tersebut memiliki nama tersendiri yang diambil dari nama tokoh pewayangan, seperti Batara Guru, Kresna, Narada, Nusa Barong, dan Kajang.

Sedangkan ada salah satu batu karang besar yang bentuknya mirip kodok, kemudian warga setempat menyebutnya pulau/karang kodok. Sementara itu, ada satu lagi pulau/karang yang tak bernama. Batu karang tersebut dihindari oleh masyarakat dan tidak ada yang berani mengunjunginya. Katanya sih di karang tersebut dihuni oleh sekawanan ular berbisa.

papuma-jember
Sekumpulan batu karang di Papuma (foto oleh Nana Warsita)
papuma-jember
Salah satu karang di Papuma (foto oleh Nana Warsita)

Oh ya, batu besar yang menjadi ikon Pantai Papuma ini namanya batu Malikan. Konon katanya cerita di balik batu Malikan ini masih ada kaitannya dengan legenda di Pantai Watu Ulo. Rupanya batu Malikan inilah yang menjadi tempat Raden Mursodo dan Raden Said memancing. Di atas batu Malikan ini Raden Mursodo tak sengaja mendapatkan ikan ajaib Mina yang kemudian ia lepaskan, yang kemudian kisahnya berlanjut dengan legenda Pantai Watu Ulo tadi. Begitulah kira-kira legenda di seputaran pantai Jember.

Kami tiba di Pantai Papuma ini menjelang magrib. Baru kali ini sih saya menikmati Pantai Papuma saat petang. Alhamdulillah pernah diberi kesempatan menikmati Pantai Papuma dalam beragam waktu, pagi-siang-sore-petang.

Waktu makan malam pun tiba. Nggak lengkap rasanya apabila berkunjung ke Pantai Papuma tapi nggak mencicipi kelezatan ikan bakar Papuma. Petang itu, selepas adzan magrib, kami diajak untuk makan malam di warung milik warga setempat. Nama warungnya adalah Warung Sederhana Pak Yit. Sudah tersaji beragam jenis ikan bakar yang siap disantap. Ada ikan kerapu, ikan kakap, ikan putihan, udang, dan ikan-ikan lain yang saya belum tahu namanya 😅

papuma-jember
Menikmati sajian makan malam di Papuma (foto oleh Nana Warsita)
papuma-jember
Hidangan yang disajikan di Papuma (foto oleh Nana Warsita)
Kami menikmati ikan bakar tersebut dengan lalapan, lengkap dengan sambalnya yang nikmat. Apalagi hujan mengguyur Jember dengan derasnya. Semakin menambah nikmat selera makan. Apalagi minumnya teh hangat atau jeruk hanget. Beuh, makin betah di Pantai Papuma.

papuma-jember
Makan di warung sederhana (dok.pribadi)
Apabila merasa terlalu malam sampai di Pantai Papuma, para pelancong juga bisa menginap di Pantai Papuma. Boleh mendirikan tenda atau kemah ala anak-anak pramuka. Boleh juga menginap di homestaynya. Masing-masing homestay memiliki tarif yang berbeda, mulai harga 300ribuan sampai 400ribuan. Tarif yang berbeda juga menentukan fasilitas yang tersedia, seperti kamar ber-AC, single bed, kamar mandi dalam, TV, beranda kecil, dsb.

Namun malam ini kami tidak menginap di homestay Pantai Papuma, melainkan kami kembali ke kota. Kami bermalam di Hotel Green Hill.

Bermalam di Hotel Green Hill

Warga Jember biasanya akan merekomendasikan Hotel Green Hill sebagai jujukan tempat bermalam kerabat jauh. Meskipun warga Jember sendiri jarang menginap di Hotel Green Hill karena mereka juga punya rumah sendiri di Jember, namun apabila ditanya manakah hotel yang bagus di Jember? Ya tersebutlah Green Hill, yang sejalan dengan Puncak Rembangan. Ya faktanya memang Hotel Green Hill ini recommended banget sih.

Malam itu kami bermalam di sebuah homestay. Di dalamnya ada 3 kamar, lebih tepatnya 1 kamar di lantai dasar dan 2 kamar di lantai atas. Di lantai dasar, terdapat ruang tamu, ruang makan, dapur, dan juga kamar mandi. Sedangkan lantai atas lebih spesial karena masing-masing kamar dilengkapi balkon.

Green-hill-hotel-jember
Ruang tamu di homestay Hotel Green Hill (foto oleh Nana Warsita)
Kamarnya juga enak banget. Masing-masing kamar disediakan double bed, TV, AC, lemari, meja, kursi, dan perlengkapan lainnya. Pokoknya, so comfortable banget deh. Kami rehat sejenak, merebahkan tubuh sebentar, lalu membersihkan diri. Iya, saya mandi malam-malam, toh disediakan air hangat di kamar mandi. Jadinya oke-oke saja, daripada tubuh pekat seharian.

Setelah kami bersih diri, kami tak diperkenankan pergi tidur. Melainkan kami harus bergegas ke meeting room untuk diskusi bersama Dinas Pariwisata Jember. Meeting roomnya juga cozy banget. Sambil menyeduh teh hangat, saya menyimak diskusi yang membahas tentang masa depan Pariwisata Jember.

famtrip-jember
Diskusi malam bersama Dinas Pariwisata Jember (foto oleh Nana Warsita)
famtrip-jember
Hmm Zevi sadar kamera 😅 (foto oleh Nana Warsita)
Beberapa teman menyampaikan keluhan perihal mahalnya akses masuk ke Pantai Papuma. Pokoknya yang dikeluhkan tentang Pantai Papuma deh. Tapi apa boleh buat, Pantai Papuma tidak berada di kawasan pengelolaan Dinas Pariwisata Jember, melainkan di bawah pengelolaan dan pengawasan Perhutani. Lalu... ya begitulah. Doakan saja semoga pengelolaan pantai-pantai di Jember semakin membaik seiring berjalannya waktu.

Diskusi baru selesai pukul 11 malam. Pun sudah selarut itu, saya merasa belum ngantuk. Padahal kalau di rumah, nggak ada kegiatan malam, jam 8 malam pun udah tidur, ah elah. Namun semalam itu pun saya belum berniat untuk tidur, padahal seharian perjalanan tadi pun saya belum menyempatkan diri untuk tidur, walaupun di dalam bus.

Di ruang makan, justru saya dan teman-teman keasyikan ngobrol. Bersama Zevi, Mbak Prita, dan Mas Nana, kami ngalor ngidul ngobrol panjang lebar, menghabiskan malam. Sambil minta dan bagi file foto di laptop, kamera, dan smartphone, kami berdiskusi tentang topik yang lagi hits saat itu, yaitu tentang pilihan hidup.

Sekitar pukul setengah dua dini hari, saya dan Zevi pamit undur diri dari obrolan. Kami mengenali alarm tubuh bahwa sudah saatnya kami beristirahat. Saya dan Zevi pun kembali ke kamar.

AC kami nyalakan. TV juga kami nyalakan, biarkan TV menyaksikan dan menemani kami tidur. Iyaaa, kami berdua takut. Meskipun lampu tidur dinyalakan dan kami terbiasa tidur di dalam gelap, tapi adaa... hmm... ini loooh.. Kami takut dengan tirainya. Tirainya itu putih menerawang, mirip dengan tirai yang di film ah kalian tahulah 😅 Pokoknya, mau berbaring ke kanan atau ke kiri, tirai-tirai itu sama-sama ada dan seperti sama-sama memeloti kami. Jadilah saya dan Zevi berlindung di balik selimut dan tidur dempet-dempetan. Ah elah. Drama banget 😆

 ---

Eh cukup sampai sini ya catatan ke dua saya. Cerita selanjutnya bisa baca di catatan ketiga atau catatan terakhir di sini:

Jelajah Jember dari Hulu ke Hilir dengan Rafting dan Tubing

Wassalammualaikum wr wb

Related Posts

2 komentar

  1. Sebenarnya daya tarik dari pantai Payangan bukanlah pantainya melainkan bukit yang berada di dekat pantai tersebut. Dari atas bukit tersebut kita bisa melihat keindahan lautan Hindia serta terdapat view menarik berbentuk Love yang terlihat dari atas dan sangat bagus bila digunakan sebagai spot foto.

    BalasHapus
  2. Diperlukan sedikit kerja keras untuk menikmati pemandangan karena anda harus menaiki bukit. But it's worth for. Jika tujuan nya adalah pantai love maka jangan parkir di tempat parkir pertama (Payangan) karena lokasinya masih jauh.

    BalasHapus

Posting Komentar