Catatan Terakhir Tentangnya

10 komentar
Konten [Tampil]
Assalammualaikum wr wb

Hmm... sejujurnya saya maju mundur saat hendak menulis catatan ini. Awalnya saya ingin menulis catatan ini dengan tujuan melepaskan rasa penat, rasa gundah dan segala rasa yang berkecamuk di dalam dada saya. Apalagi ketika terbersit perasaan untuk klarifikasi terhadap isu dan gosip yang menyudutkan saya sebagai pihak pemberi keputusan.

Namun, perlahan saya mundur atas niatan saya untuk menulis catatan ini. Biarlah saya saja yang menyimpan perasaan kalut ini. Biarlah gosip-gosip itu beterbangan di atas sana. Biar. Saya tak perlu membela diri saya sendiri ketika saya merasa bahwa tindakan saya sudah benar.

Lalu tiba-tiba, ada sebuah paksaan dari eksternal, yang muncul dan mau nggak mau, saya harus menuliskannya. Memang sebenarnya banyak cerita yang lebih berkesan dan menarik, namun saya rasa catatan ini harus ditulis segera. Mumpung momennya tepat. Pun supaya saya lekas tenang.
---


Ini adalah catatan tentang saya dan dia. Lebih tepatnya: catatan terakhir tentangnya.

Saya dan dia. Hmm... pernah menjalin hubungan spesial, lebih dari sekedar teman. Kami bertemu dalam wadah yang baik, yaitu Kelas Inspirasi Jember. Kami berada dalam satu tim, yang karena kesempatan itulah kami menjadi dekat. Semenjak itu, kami mulai mengenal satu sama lain.

Saya merasa beruntung mengenalnya. Latar belakang yang berbeda, membuat wawasan saya bertambah ketika kami bertukar pikiran. Saya adalah orang yang kritis, begitupun juga dengan dia. Apaaaa aja ditanyakan. Tak jarang saya gemas dengannya karena dia tak sepemikiran dengan saya. Pokoknya, dia jarang setuju dengan argumen saya. Namun dengan ketidaksetujuannya, ia lengkapi dengan argumen, yang masuk akal dan bisa diterima secara logika. Dari diskusi remeh temeh seperti itu, mengartikan bahwa saya nggak bisa memandang suatu perkara dari 1 sisi, melainkan harus mengantongi pemikiran dari sisi lainnya, yang tak bisa saya temukan sendiri.


Ya itulah gaya pacaran kami saat itu. Lebih banyak diskusinya daripada sayang-sayangan. Ya wajar sih, kami sama-sama aktivis yang harus menggerakan bendera organisasi masing-masing.

Di awal-awal perjalanan, kira-kira tahun pertama, kami sama-sama menjadi anggota aktif di organisasi masing-masing. Saya di Universitas Jember Mengajar, sedangkan dia di Swayanaka Jember. Tak banyak orang yang tahu tentang hubungan kami. Hanya segelintir orang yang tahu. Saya tak peduli, namun dia peduli, dia ingin diakui. Maksudnya supaya kami memublikasikan hubungan kami di muka umum. Maaf, saya tidak bisa. Ada hati kecil yang berteriak, akan saya ceritakan kemudian.

Lalu tahun kedua, saya diangkat menjadi Bendahara di organisasi saya, sedangkan dia diangkat menjadi koordinator salah satu divisi di organisasinya. Kami masih sama-sama berproses.

Beranjak tahun ketiga, saya sudah harus bersiap diri. Dia diberi amanah menjadi Ketua Umum, saya harus bisa mengerti dengan posisinya saat itu. Tak berapa lama kemudian saya pun diberi amanah menjadi Direktur. Kami harus memimpin organisasi kami masing-masing. Maka dari itu, kami berdua juga harus pandai-pandai mengatur waktu, untuk organisasi, kuliah, hobi dan hmm kencan. Tak jarang, kami sengaja membuat jadwal rapat organisasi yang sama, supaya kami masih bisa berkencan.

Wuaaa, saya stresnya minta ampun kala menjadi Direktur. Sejujurnya saya syok berat. Baru kali ini saya mendapat amanah yang sebegitu besarnya tanpa pernah mendapat pengalaman menjadi ketua sebelumnya. Sebelum pemilihan, saya menangis. Ya dia yang menemani saya. Ah, belum berperang saja saya sudah lemah.

Selama setahun saya menjabat, saya merasa bahwa saya harus selalu kuat. Nggak boleh menangis di tengah jalan, sekalipun saya lelahnya minta ampun. Untuk mengatasinya, cukup saya sharing dengan dia, dia mendengarkan cerita saya, keluh kesah saya, pemikiran saya, sambil bersandar di bahunya. Cukup. Cukuplah dia mendengarkan saya, supaya batin saya tenang kembali.

Bagi saya, dia yang menemani saya ketika berproses itulah yang paling berkesan untuk saya. Terima kasih telah ada untuk saya di saat-saat sulit itu.


Selepas kami sama-sama purna jabatan, kami pun menekuni kegiatan kami masing-masing. Saya dengan blog saya, sedangkan dia dengan jualannya. Kami berbahagia dengan kegiatan masing-masing, selain skripsi.


Seiring berjalannya waktu, entah mengapa banyak hal yang datang. Saa merasa bahwa banyak sinyal yang datang. Entah sinyal darimana. Saya tak mampu menafsirkannya. Saya tak paham, sinyal apakah itu. Kian lama, sinyal itu semakin berpendar di kedua pelupuk mata saya, membuat mata hati saya terbuka. Bahwa tidak seharusnya saya begini. Tidak seharusnya saya pacaran.

Iya, sinyal itu adalah teguran. Teguran yang datang dari Yang Maha Mencintai saya, supaya saya kembali menjaga anugerah-Nya, yang tak dapat diberikan ke sembarang orang, sekalipun dia orang baik.

Ya jelas saja, saat itu dengan tegas saya menolak keberadaan sinyal itu, menghalau segala teguran yang ada saat itu. Saya nggak mau sok-sokan ikut-ikutan mutusin pacar seperti teman-teman saya lain. Saat itu, saya menolak untuk memutuskan pacar saya.

Sayangnya, semakin saya menolak, maka semakin kuat pula teguran itu datang. Banyak cerita kawan saya yang putus di tengah jalan, lalu menikah dengan orang lain yang ternyata orang baru, bukan pacarnya yang dulu. Apalagi ketika dia berusaha mati-matian menjaga perasaan terhadap pacarnya, harus melepasnya karena ia menikah. Duh laaaah, dramanya menguras hati banget tatkala saya mendengarnya.

Ada juga yang berkisah tentang dirinya yang menikah dengan pacarnya, namun hubungan rumah tangganya hanya bertahan tak lebih dari 5 tahun, pun ada kasus KDRT di dalamnya. Yang saya kantongi, ia menikah bukan karena sudah siap secara lahir batin, melainkan karena desakan sudah berpacaran sejak lama.

Apa? Menikah karena pacaran? Kayaknya enggak deh, saya nggak mau. Saya nggak mau menikah karena pacaran. Saya maunya menikah karena... karena apa ya... Saat itu saya tidak tahu jawabannya.

Kembali saya menyusuri lika-liku perjalanan hidup saya. Merefleksi diri terhadap tingkah laku saya terhadap para laki-laki yang pernah singgah di pikiran saya... Ah, ternyata saya sebegitu remehnya ya jadi perempuan. Tidak menjaga hati untuk sebenar-benarnya lelaki yang akan menjadi suami saya.

Sejujurnya, saya ini nggak pintar-pintar amat jadi orang. Hanya karena ada waktu luang dan fasilitas yang mumpuni, maka saya bisa bergerak kemana saja dan melakukan apa saja. Karena saya sadar bahwa saya nggak pintar-pintar amat, maka saya harus mencari celah lain supaya bisa berdampak terhadap prestasi saya.

Saat kuliah, weekend sengaja saya luangkan untuk mengabdi di desa. Saya membatin, bahwa tenaga dan pikiran yang saya berikan kepada anak-anak desa, niscaya akan berdampak pada kuliah saya saat weekday. Rupanya itu benar dan nyata. Sesibuk-sibuknya saya dengan aktivitas organisasi dan pengabdian, toh IPK saya selalu bagus, Alhamdulillah saya lulus summa cum laude. Bukti nyata banget deh, hasil dari sedekah tenaga dan pikiran.

Kemudian, lepas dari organisasi dan pengabdian, saya lebih enjoy menikmati aktivitas saya yang lain, yaitu blogging. Selebihnya saya fokus mengerjakan skripsi. Tapi kok... saya merasa... nggak ada satupun ilmu yang masuk ke otak saya ya. Nggak ada tuh, ceritanya saya bisa fokus menyelesaikan satu buku semenjak saya selesai pengabdian. Setiap kali membaca buku, untuk memahami isi dari satu halaman saja, saya harus mengulanginya 3 sampai 5 kali, itupun nggak bertahan lama. Saat itu, nggak ada satu buku pun yang bisa saya tamatkan. Kok bisa ya? Kok setumpul ini sih otak saya?

Lalu saya refleksi diri lagi. Kembali melihat-lihat memori masa lalu saya. Kemudian saya menemukan sesuatu. Dulu saya pacaran, disambi pengabdian. Ibarat kata, saya menambah dosa, namun saya naikkan juga pahalanya. Lah, sekarang? Saya pacaran, berbuat dosa, namun nggak ada perbuatan baik yang saya usahakan. Pantas saja kalau saya sebodoh ini.

Bener deh, nggak ada satupun ilmu yang nyantol di kepala saya. Semua ilmu dan wawasan hanya berlalu begitu saja. Tak berbekas. Kalaupun saat bimbingan atau sidang skripsi, saya nggak belajar, melainkan hanya mengandalkan ilmu-ilmu setahun lalu yang masih nyantol di kepala saya. Ya Allah, separah itu kah saya...

Haruskah saya memutusnya? Haruskah saya melepasnya?

Saya nggak mau. Saya menolak untuk putus dengannya. Saya sudah bergantung dengannya.

Saya stres-stres sendiri. Pusing-pusing sendiri. Bingung-bingung sendiri.

Untuk melepasnya, saya butuh alasan dan dorongan yang kuat.

Suatu hari, hati kecil saya menginginkan supaya saya membenahi bacaan sholat saya. Entah kok tiba-tiba muncul aja gitu, keinginan untuk memperbaiki bacaan sholat. Segera saya buka buku legendaris: Bacaan Sholat Lengkap, yang berwarna ungu muda dan ungu tua itu. Saya baca bab thaharah, lebih tepatnya pengertian thaharah yang hanya 1 paragraf. Saya coba baca, mengulanginya, mencoba memahaminya... kok nggak paham-paham sih. Nggak peduli deh, saya lanjut aja baca lanjutannya. Sayangnya nggak ada satu kalimat pun yang saya pahami. Ya Allah, separah ini kah saya?

Sepertinya... banyak dosa yang menghalangi saya untuk mempelajari kalam Allah, walaupun hanya sekedar bacaan sholat. Sepertinya saya harus benar-benar mengurangi dosa-dosa itu. Bagaimana ya caranya???

Saya berpikir kembali. Mencoba merangkai tanda-tanda yang datangnya tiba-tiba dan masih tercamkan kuat di pikiran saya karena menimbulkan banyak tanya. Saya coba menyusunnya, merangkainya, lalu menemukan sebuah kegamangan. Haruskah saya memutuskannnya?

Semenjak saat itu, saya harus belajar ikhlas. Mengikhlaskan dia yang belum tentu jadi suami saya. Sulit sih, tapi mau bagaimana lagi. Saya harus bisa melepaskannya, cepat atau lambat.

Saya pun juga memahami bahwa saya tak bisa memutuskannya secara tiba-tiba. Kalau tiba-tiba, pasti dia akan syok, kaget, dan mengira ada sesuatu yang terjadi dengan diri saya. Maka, jauh-jauh hari, ketika kami bertemu, ngobrol-ngobrol ringan. Iseng saya menanyakan, bagaimanakah bila kita tak berjodoh?

Jawabnya, memaksa Tuhan untuk menjodohkan kita. Apa? Kok saya nggak terima jawaban dia begitu aja ya. Yang saya pahami, bukankah perihal jodoh sudah tercatat di lauhl mahfudz ya? Bagaimana bisa kita mengubahnya? Punya kuasa apa kita?

Saya membahas hal itu, nggak cuma sekali itu aja. Sampai, saya rasa dia sudah paham bahwa saya akan melepasnya.

Suatu hari, dua pekan sebelum saya wisuda, kami sama-sama disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Benar-benar sibuk. Meski saya dan dia sedang sama-sama berada di Banyuwangi, lalu ia mengajak saya untuk bertemu dan pulang bareng, namun maaf, saya menolak. Saya nggak boleh goyah hanya karena ajakan pulang bareng Banyuwangi-Jember.

Selang beberapa waktu, saya memintanya untuk bertemu dengan saya. Saya bilang, bahwa ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Rupanya ia sudah paham dengan maksud saya.

Kami sama-sama meluangkan waktu untuk bertemu di sebuah tempat yang biasa kami habiskan waktu bersama. Dia bertanya, maksud dari hal penting itu apa. Saya pun menjawab, tidak serta merta langsung ke tujuan. Melainkan masih muter-muter dengan cerita dan kisah perjalanan saya, sebelum saya mengambil keputusan.

Mungkin dia gemas kali ya dengan saya yang tak kunjung mengutarakan hal penting. Dia todong lagi, pertanyaan "Intinya apa?"

Dengan berat hati, dengan nada lirih, saya berkata.. "Aku ingin hubungan kita... selesai".

"Selesai? Putus maksudnya?"

Saya mengangguk. Yaa, dia pun menerima keputusan saya dengan berat hati. Dia bilang bahwa dia menerima keputusan saya, bahwa tidak ada lagi hubungan spesial di antara kami berdua. Tidak ada lagi. Kami kembali berteman seperti sedia kala. Kami saling meminta maaf atas keaalpaan di antara kami berdua. Kami pun juga saling berterima kasih atas kebaikan di antara kami berdua.

Tiba-tiba dia tanya lagi, "Kok bilangnya selesai? Bukan putus?"

Yaaa karena ... kalau saya bilang putus, maka suatu hari saya akan pacaran lagi. Saya kan nggak mau pacaran lagi.

Malam itu, perbincangan kami selesai pukul 9. Ada perasaan tak enak hati, namun ada perasaan lega. Lega selega-leganya. Akhirnya saya bebas dari belenggu keraguan saya selama ini.

Iya, ragu. Bukan meragukan dia. Melainkan meragukan tindakan saya, apakah pacaran yang saya lakukan ini boleh-boleh saja? Keraguan saya ini terwujud pada saya yang nggak mau publish foto kami berdua di media sosial manapun. Saya nggak mau, saya malu. Rupanya malu itu adalah keraguan dan kekhawatiran saya.

Lalu, saya menyesal. Seharusnya saya nggak melakukan itu dari dulu. Nggak melakukan apapun itu, didekati atau mendekati lelaki, sebelum waktunya tiba. Sungguh, saya menyesal. Apabila waktu bisa terulang, tentu akan saya perbaiki semua.

Untuk keputusan ini, saya tak mengabarkannya ke teman-teman, baik melalui update story maupun obrolan langsung. Saya dieeem aja, santaaaai aja. Biarlah teman-teman akan tahu sendiri nantinya.

Tibalah waktu wisuda. Saya sudah ikhlas, sudah bersiap diri bahwa saya tak akan foto dengan pasangan saat wisuda, berbeda dengan teman-teman yang berfoto dengan pasangannya saat itu. Yaweslah, biarlah. Cuekin aja.

Setelah saya berfoto dengan Ayah Ibu, berfoto dengan beberapa teman kelas, lalu berfoto dengan teman-teman dari Universitas Jember Mengajar. Tiba-tiba, ada kawan saya bertanya, "Mbak Cha, masnya mana?"

Saya tahu, yang dimaksud 'masnya' adalah pacar saya yang dulu. Sederhana, saya jawab, "Kayaknya nggak datang, deh".

"Mbak Cha, masnya mana?" Dia tanya lagi dengan pertanyaan yang sama.

"Nggak datang... Kayaknya dia sibuk..."

"Masa'? Kok nggak datang sih?"

"Dia lagi repot... Jadi penerima tamu di pernikahan dosennya" jawab saya sesuai fakta. Memang jauh-jauh hari, kami selalu tahu agenda di antara kami ngapain aja dan di mana aja.

"Ooh... Tapi Mbak Ocha nggak ada apa-apa kan? Nggak putus kan?" Tiba-tiba dia menodong saya seperti itu.

"Hmmm.... Udah selesai sih"

"Hah? Mbak Ocha putus?"

"Iya..." jawab saya lirih, sambil menegarkan diri.

Eh tiba-tiba kawan saya ini langsung mengabarkan kepada dua kawan saya yang lain. Mereka syok, lalu sok-sok nangis sambil berpelukan. "Huuuu.... Ocha putuuus". Saya yang jadi tokoh utama, hanya melongo melihat mereka yang duh lebay ah rek.

"Wuaaaaah kok bisa putus sih, Mbak? Masnya jahat? Habis diapain sama masnya?" tanya kawan saya lagi.

"Enggak kok, dia nggak jahat"

"Lalu kenapa putus, Mbak?"

"Demi kebaikan" jawab saya sambil tersenyum.

"Ooh, iya Mbak. Alhamdulillah. Aku tahu kok maksudnya Mbak. Pasti habis dengerin tausiyahnya Ustadz Hannan Attaki ya?"

Hah? Ustadz Hannan Attaki? Saya baru ingat lagi nama ini. Justru yaa, dulu saya menolak banget untuk mendengarkan tausiyah beliau yang nggak usah pacaran deh. Anti banget. Pun kalau dia nongol di story nya teman-teman, langsung tuh saya skip. Duh, sebegitunya ya saya.

Keesokan harinya, saya buka youtube dan mencari video tausiyahnya Ustadz Hannan Attaki. Alhamdulillah, dengan mendengar tausiyahnya, saya merasa ada yang mendukung. Juga saya meyakini bahwa keputusan yang saya ambil tak salah, hanyalah untuk kebaikan. Alhamdulillah.

Semenjak saat itu saya sering mendengarkan tausiyahnya Ustadz Hannan Attaki dan tausiyah ustadz-ustadz lain. Tujuannya, untuk menguatkan iman saya, karena tentulah saya butuh dorongan, butuh pendukung.

Alhamdulillah... kian hari... saya semakin rajin belajar... Iya, saya juga kembali belajar menata bacaan sholat. Saya buka bukunya, dibaca, lalu hafal dengan runtut. Ya Allah, secepat itukah saya menghafalkannya lagi? Kok cepet banget sih. Habis dah, bacaan saya mulai bab thaharah sampai sholat fardhu. Alhamdulillah....

Ketika saya berusaha memperbaiki diri, berusaha menjauh dari hal-hal yang bathil, rupanya semudah itu ya Allah menunjukkan kuasa-Nya dan menyayangi hamba-hamba-Nya.

Allah, terima kasih. Terima kasih Engkau telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengembalikan hati yang masih harus saya jaga sampai tiba waktunya.

-----

Alhamdulillah, saya lega nulisnya. Legaaa banget. Biarlah ini menjadi catatan terakhir saya tentangnya. Biar dah. Biar.

Oh ya, teman-teman boleh juga baca catatan tentang cerita cinta para Enchanting Ladies lainnya di sini:

Teh Dian ---- It Takes Two Tango

Teh Mude ---- Kisah Lama Tentang Cinta

Kak Pipit ---- Kisah Cinta Berkesan

Zahrah ---- Sepeda Motor dan Kenangan Lelaki Tercinta

Untuk teman-teman yang sudah membaca, hmm, semoga dapat mengambil pesan dan saripatinya yaa... Terima kasih telah menyimak dan menjadi pembaca yang baik.

Wassalammualaikum wr wb

Related Posts

10 komentar

  1. ini mah namanya hubungan rahasia mbak. hmmm ...

    mbak ros tipe orang yg kritis ya. kyaknya bisa jadi aktivis hebat. kayaknya beda organisasi akan memengaruhi visi dan misi. apa itu nggak bisa disatukan persepsinya, mbak ros?

    BalasHapus
  2. Menurutku ini tulisan Mbak Ocha paling bikin baper, kayaknya Mbak Ocha belum pernah nulis curhat kayak ginii..

    Emang ada masanya hijrah kok mbak, tinggal keinginan kita mau hijrah apa gak..

    BalasHapus
  3. Aku speechless, Rhos....Pengen meluk Rhos. Ga tahu harus komen apa ini.

    Segala sesuatu udah ada jalannya masing-masing. Kita cuma tinggal menjalaninya dan percaya bahwa semua yang direncanakan Allah adalah untuk yang terbaik.

    BalasHapus
  4. Halo kak Ros ^_^
    Aku juga maju mundur mau nulis apa huehehe. It must be lil hard at that time. Aku rasa kakak keren banget. Melepas yang dicintai.....dan lagi, hubungan itu gak menye2. Hubungan dua orang yang keren banget!

    Aku berharap bisa kayak kakak, melepas hal yang dianggap 'menyenangkan' padahal kita tahu itu gak bener :) seperti hobi yang salah.....ah aduhlah.

    Semoga.....semoga istiqomah >_<

    BalasHapus
  5. wow luar biasa
    Di beberapa bagian aku termangu
    Salut sama keputusanmu. Butuh pemikiran dalam, pertimbangan matang dan perjalanan panjang tentunya untuk sampai pada keputusan ini
    Semoga ini yang terbaik ya

    Ou satu lagi
    Sebuah ungkapan klasik, "Kalau jodoh gak akan kemana." hehe

    BalasHapus
  6. Langsung kon lamar wae yen pengen lanjut.. hadehh..

    BalasHapus
  7. Langsung pelaminan aja biar JOS :D biar gak Baper


    kisahnya mirip dengan ku :(

    BalasHapus
  8. Kuat ros kuat, aku jg pernah ngalamin. Berat sih buat ngambil keputusan, tp dr pd gak tenang mening sakit smntara tp lega selanjutnya. Proud of you.

    BalasHapus
  9. Rhos.. aku mau minta maaf, ternyata tema yang aku ajuin sampe ngorek luka lama kamu. Maaf Rhos, aku g ada niatan, g nyangka kamu bakal nulis postingan kayak gini :(, duh jadi g enak aku Rhos..

    Sama kayak Teh Dian, aku g bisa ngomong apa-apa dengan kisahmu, ini dalem banget.. banget.. Semoga Allah senantiasa melindungi dan segera dipertemukan dengan jodohnya ya Rhos

    BalasHapus
  10. Aku juga lega bacanya sampai akhir, akhirnya ya..pesan yang aku sampaikan tersirat utk berpikir jauh ke depan, sedikit (mungkin) mempengaruhi kegalauan2 itu, Rhos. Pun, aku ke dia, berdiskusi hal yg sama. Selamat ya, ini bukan luka. Ini pintu untuk menjadi pribadi yg baru. Semangat! Kalau jodoh, pasti akan bertemu lagi, lewat cara yang ga pernah kita duga.

    BalasHapus

Posting Komentar