Festival Petik Laut Pantai Pancer Puger

Konten [Tampil]
Assalammualaikum wr wb

Teringat memori setahun silam, tatkala saya menikmati kebahagiaan yang tiada tara. Ada rasa yang berbeda, gegap gempita, bahagia, tangis haru, dan kepuasan tersendiri kala saya menamatkan mimpi-mimpi itu. Sebuah mimpi yang juga menjadi impian sebagian besar mahasiswa: lulus sidang skripsi.

Fiuh, lega rasanya. Perjuangan selama ini terbayarkan sudah. Berlama-lama di depan laptop, berajin-rajin datang ke kampus, ditegur dosen setiap hari, dsb, kini tak lagi dirasakan. Semuanya sudah berakhir.

Pada setiap perjuangan yang dirasa amat berat, maka ada hadiah yang menyertainya. Saya rasa, hadiah itu tidak melulu berupa pemberian dari orang lain. Bagaimana kalau hadiahnya dari diri sendiri?

Menghadiahi diri sendiri, bentuknya beraneka macam. Salah satunya adalah travelling.
Terbayang di angan, pemandangan lautan yang luas dengan angin berhembus sejuk. Di bibir pantai, ada saya yang sedang berdiri sambil membawa dua kardus berisi draft skripsi yang sudah tak terpakai. Sambil bergumam, saya larungkan kardus tersebut ke tengah laut, yang menyimbolkan terselesainya tanggung jawab sebagai pejuang tugas akhir.

pantai-pancer-puger


Pucuk dicinta ulampun tiba. Beruntungnya, mendadak seorang kawan menyampaikan kabar gembira bahwa akan ada acara rame-rame di desanya. Desanya tak jauh dari pantai. Acara yang ia gembor-gemborkan adalah “Festival Petik Laut Pantai Pancer di Puger”.

Mata saya berbinar-binar. Sepertinya, hadiah diri sendiri untuk main ke pantai kian terasa dekat 😍

Langsung saja, saya cecar beragam pertanyaan untuknya. “Acaranya apa saja? Kapan acaranya berlangsung? Dimana lokasinya? Rame kah acaranya?”

Dengan tegas, kawan saya menjawab, “Kak Ros enggak usah banyak tanya. Awal Oktober, ayo ikut ke rumah. Wajib menginap.”

Oke, catat.

--
Hari yang dinantikan pun tiba. Dengan menenteng tas ransel, saya sudah sampai di rumahnya. Ibunya menyambut saya dengan hangat. Lalu bergegas menyodorkan sepiring nasi pecel kepada saya, seraya berkata, “Untuk amunisi nonton kirab sama Hikma”.

Saya menyunggingkan senyum, sebagai pendamping ucapan terima kasih.

Rupanya, festival petik laut itu tidak hanya berisi acara larung sesaji saja. Melainkan ada banyak kegiatan yang menyertainya, termasuk kirab budaya. Biasanya, serangkaian acara tersebut digelar selama 5 hari, menjelang 1 Suro.

festival-petik-laut-puger

Festival ini dimulai dengan acara Fun Bike yang diikuti oleh seluruh masyarakat Puger. Garis startnya adalah Alun-Alun Puger, yang akan berakhir di Pantai Pancer. Sepertinya, fun bikenya menyenangkan. Setelah lelah bersepeda, peserta bisa langsung menikmati semilir angin pantai. Wuuush… benar-benar surga dunia… 💃

Keesokan harinya, diselenggarakan senam masal untuk lansia. Acara ini digelar pada sore hari di Alun-Alun Puger. Tujuannya, untuk menghormati para lansia dengan cara menjaga kesehatannya.

Pada hari ketiga, diselenggarakan tahlil akbar. Digelar di sepanjang jalan depan pemakaman umum. Acara tahlil ini dihadiri oleh warga, nelayan, tokoh masyarakat, perangkat desa, dan para alim ulama.  Mereka bersama-sama membaca doa dan melantunkan pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur atas rahmat yang diberikan selama ini.

Hari keempat, masyarakat berbondong-bondong merapat ke jalan raya kecamatan Puger. Di bawah cuaca yang terik, mereka bersabar menantikan kirab budaya. Kirab ini diikuti oleh kurang lebih seribu peserta dari berbagai instansi dan komunitas. Mereka ikut serta secara sukarela untuk meramaikan Festival Petik Laut.

Malam harinya, sekitar pukul 9 malam, diselenggarakan pagelaran wayang kulit. Acara ini merupakan acara hiburan yang diperuntukkan bagi warga desa. Biasanya diselenggarakan di kantor desa, semalam suntuk.

Hari terakhir, tentu saja petik laut, yang menjadi puncak acara Festival Petik Laut. Sesaji yang akan dilarungkan, diarak terlebih dahulu dari kantor desa, menuju dermaga pelabuhan Pantai Pancer.



Siang itu, saya menjadi salah seorang yang berbaris rapi di pinggir jalan. Rela berpanas-panas ria untuk menyaksikan kirab budaya. Kirab budaya dimulai pada pukul 1 siang, bertempat di perbatasan desa.

Kirab budaya ini dipimpin oleh kepala desa. Dengan didampingi istrinya, beliau memimpin kirab dengan menggunakan pakaian ala pengantin. Di belakangnya, berbaris perangkat desa, yang juga mengenakan pakaian serupa pengantin. Di belakangnya lagi, adalah peserta kirab yang berasal dari beragam instansi dan komunitas. Mereka menunjukkan kebebasan berekspreasi dan berkreatifitas.

festival-petik-laut-puger

festival-petik-laut-puger

festival-petik-laut-puger

festival-petik-laut-puger


Ada satu hal yang menarik dari kirab budaya ini. Yaitu dipanggulnya miniatur perahu oleh beberapa orang. Miniatur perahunya tidak sekecil genggaman tangan, melainkan seukuran bangku sekolahan. Maka tak heran, butuh sekitar 4-6 orang untuk memanggulnya.

festival-petik-laut-puger

festival-petik-laut-puger

Di dalam miniatur perahu tersebut, terdapat sesaji yang akan dilarung ke laut. Miniatur perahu beserta sesajinya, merupakan pemberian dari warga lokal. Tujuannya, sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang melimpah selama ini.

Selain itu, warga juga menyuguhkan kerbau dan kambing untuk diikutsertakan pada acara petik laut. Dagingnya dimasak dan dinikmati bersama-sama. Sementara kepalanya dibiarkan utuh untuk ikut diarak saat kirab budaya.

festival-petik-laut-puger

Miniatur perahu beserta sesajinya, diarak oleh peserta kirab menuju kantor desa. Di kantor desa, seluruh miniatur perahu beserta sesaji disimpan semalaman. Warga diperbolehkan datang ke kantor desa untuk melihat dengan seksama bentuk sesaji yang akan dilarungkan.



Keesokan paginya, saya ditemani Hikma, bersiap diri untuk menyaksikan acara puncak: larung sesaji. Namun sebelum itu, kami mampir terlebih dahulu ke kantor desa. Tujuannya, untuk melihat lebih dekat miniatur perahu beserta sesaji yang akan dilarungkan.

Di sana, saya dapat melihat lebih jelas bentuk perahu yang akan dilarungkan. Ada beberapa yang bentuknya seperti perahu besar, maupun jukung. Miniatur perahunya cukup meriah. Menggambarkan perahu milik nelayan, serupa aslinya. Ada pula yang bentuknya seperti rumah jogja. Bermacam-macam adanya dan meriah.

festival-petik-laut-puger

Di dalam miniatur perahu, terdapat ubo rampen sesaji. Yaitu sesajian yang terdiri dari polo pendem, kepala kerbau dan kambing, jajanan, serta beragam hasil pertanian.

Di dalam miniatur perahu, terlihat dengan jelas bentuk kepala kerbau dan kambing yang dibungkus kain putih. Kepala kerbau dan kambing ini menyimbolkan sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tampak pula darah kambing yang diletakkan di dalam sebuah kendi, serta air kembang yang diletakkan di dalam baskom.

festival-petik-laut-puger
 festival-petik-laut-puger

Selain itu, juga terdapat sesaji berupa sepasang bocah laki-laki dan perempuan yang terbuat dari tepung. Menyimbolkan bahwa manusia terdiri dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.

Di sampingnya terdapat sayatan daging sapi dan kue lima warna (merah, putih, hijau, hitam, dan kuning). Menunjukan bahwa kehidupan manusia membutuhkan sandang dan pangan untuk hidup. Sementara jenang abang dan jenang puteh yang turut menyertai sesaji, melambangkan adanya kehidupan siang dan malam.

Hasil bumi atau polo pendem, juga menyertai sesaji. Tampak ada ubi, kacang, ketela, jagung, padi, dsb. Hasil pertanian tersebut merupakan simbolisasi kepasrahan manusia terhadap benda-benda yang dimiliki bahwa akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Aneka jajanan seperti klepon, kucur, pisang ayu, dsb juga diikutsertakan dalam sesaji. Tak lupa, dupa yang berasap juga melengkapi sesaji yang akan dilarungkan ke laut.

festival-petik-laut-puger

Miniatur perahu beserta sesaji, akan dilarungkan pada pukul 9 pagi. Terlebih dahulu diarak oleh perangkat desa, nelayan dan warga sekitar. Mereka berjalan beriringan dari kantor desa menuju dermaga pelabuhan Pantai Pancer dengan diiringi tari-tarian.



Di dermaga, perahu-perahu sudah berbaris rapi. Tampak perahu-perahu yang cantik dan meriah. Rupanya, jauh-jauh hari sebelum ritual diadakan, para nelayan menghias perahu seindah mungkin. Biasanya mereka memanfaatkan lembaran kain umbul-umbul, ditambah aksesoris yang bergemerincing. Dengan perahu yang meriah itu, mereka siap mengantarkan sesaji ke tengah laut.

festival-petik-laut-puger


Setelah dirasa sudah siap semuanya, sesaji dinaikkan ke atas perahu. Perangkat desa, sesepuh desa dan para alim ulama naik ke atas perahu. Tak ketinggalan pula warga setempat yang turut serta naik ke atas perahu.

festival-petik-laut-puger

festival-petik-laut-puger

Sayangnya, saya tidak turut serta naik ke atas perahu. Alasannya, saya menuruti pesan Ibu untuk tidak coba-coba naik perahu di Puger. Larangan berbentuk kasih sayang tersebut, bukan berarti mengurungkan rasa antusiasme saya untuk menyaksikan petik laut. Melainkan saya mencari tempat yang enak untuk menyaksikan petik laut walau dari kejauhan.

Maka saya segera melipir ke spot favorit Pantai Pancer, yaitu bebatuan pemecah ombak yang menjorok ke laut. Di sana sudah terdapat warga yang beramai-ramai menyaksikan larung sesaji dari bibir pantai.

festival-petik-laut-puger

festival-petik-laut-puger

Dari tempat saya berada, tampak perahu-perahu besar belayar ke tengah laut. Perahu tersebut berlayar sejauh tiga kilometer dari dermaga. Kami melihat perahu-perahu besar berputar-putar di tengah laut. Mereka mencari posisi yang pas untuk melarungkan sesaji. Setelahnya, diikuti oleh perahu-perahu kecil yang juga mengiringi prosesi pelarungan sesaji.

Sesaji dilarungkan oleh kepala desa, sesepuh nelayan, dan beberapa orang yang dihormati. Mereka melepas sesaji beserta miniatur perahunya, dengan diiringi salawat dan gema takbir.

festival-petik-laut-puger

festival-petik-laut-puger

Acara larung sesaji ini, biasanya selesai dalam waktu satu jam. Namun, bukan berarti selesainya sesaji dilarungkan, lantas membuat warga langsung pulang. Sebagian di antaranya, masih menetap di bebatuan pemecah ombak untuk melihat perahu-perahu kembali ke dermaga.

Menyaksikan perahu kembali ke dermaga, merupakan salah satu tontonan yang menarik bagi warga setempat. Sebabnya, di seberang daratan tersebut terdapat karang besar, yang di sekitarnya seringkali terdapat ombak besar. Daerah tersebut dikenal dengan sebutan Plawangan.

festival-petik-laut-puger


Di Plawangan, sering terjadi musibah yang tak dapat dielakkan. Misalnya perahu terbalik atau perahu karam. Tentu saja kejadian tersebut seringkali menimbulkan korban. Sebabnya adalah ombak yang besar dan tidak dapat diprediksi.

Di samping itu, konon katanya ada yang menjaga daerah Plawangan. Nyi Tleges, diyakini sebagai salah satu nama punggawa Nyi Roro Kidul yang bertugas menjaga Plawangan. Para nelayan seringkali menganggap daerah Plawangan sebagai kawasan yang angker.



Ritual petik laut, memang tidak terlepas dari mitos-mitos dan kepercayaan orang terdahulu. Kesadaran akan adanya mahluk lain yang memiliki kekuatan luar biasa, serta besarnya keinginan warga untuk memperoleh keselamatan hidup, merupakan alasan utama orang terdahulu untuk menyelenggarakan tradisi petik laut.

Bermula dari sebuah peristiwa pada tahun 1894 yang menimpa Singo Truno,  lurah desa sekaligus nelayan yang sukses di masanya. Suatu hari, ketika ia pergi melaut bersama rekan-rekannya, mereka mendapati ombak menerjang secara tiba-tiba. Ombaknya dirasa sangat ganas, dan tak kunjung berhenti. Peristiwa tersebut  juga dirasa sangat janggal, tidak seperti biasanya.

Mereka merasa bahwa ada unsur gaib yang melatarbelakangi peristiwa tersebut. Diyakini ada kekuatan lain di luar kemampuan manusia biasa. Mereka menduga bahwa sang penguasa laut sedang marah. Sebabnya, keserakahan nelayan dalam menangkap ikan.

Hari demi hari berlalu, mereka mulai menyadari ada hal yang tak biasa. Hasil tangkapan ikan semakin berkurang. Akibatnya, pemasukan ekonomi semakin menyusut.

Merasa ada yang tidak beres, Singo Truno mengajak para nelayan untuk berbuat sesuatu. Lebih tepatnya, sesuatu yang bisa menolong keberadaan mereka di laut. Maka mereka sepakat melakukan selametan laut, yang menggabungkan unsur ritual keagamaan dan adat lokal.

Selametan laut diadakan dalam bentuk pengajian bersama. Diikuti oleh seluruh nelayan beserta keluarganya, tepat di bibir pantai. Beragam sesaji beserta hasil bumi juga turut disertakan. Maka, selametan laut juga dikenal dengan sebutan sedekah laut, atau petik laut.



Tradisi petik laut yang sudah dilakukan secara turun temurun, merupakan kearifan lokal yang harus dijaga. Memang tidak dipungkiri bahwa sesaji merupakan salah satu simbol animisme dan dinamisme seperti jaman dahulu. Namun kini sesaji tersebut hanya bermakna simbolisasi untuk melestarikan budaya yang harus diwariskan kepada anak cucu.

Petik laut, bukan lagi dimaknai sebagai ritual untuk menenangkan penguasa laut. Melainkan sebagai bentuk ucapan rasa syukur warga dan nelayan, atas berkah dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa selama ini.

festival-petik-laut-puger

Secara teologis, petik laut merupakan bentuk ungkapan keyakinan masyarakat pesisir Puger terhadap kehidupan yang saling terkait antara manusia, alam, dan Tuhan. Khusus hubungan antara manusia dan alam, ritual ini berfungsi dalam dua hal.

Pertama, petik laut berfungsi sebagai sarana untuk menundukkan keganasan laut melalui permohonan doa-doa kepada Tuhan. Sehingga nelayan diberi keselamatan dan memperoleh hasil tangkapan yang banyak. Hal ini lebih merujuk kepada fungsi ekonomi karena laut adalah tempat pencaharian utama para nelayan.

Kedua, petik laut merupakan sarana perekatan hubungan sosial antar warga dan sesama nelayan. Fungsi ini diyakini betul oleh masyarakat Puger karena mereka menganggap bahwa petik laut tidak jauh berbeda dengan perayaan hari besar Islam lainnya. Dengan tradisi ini, masyarakat merasa disatukan oleh pemahaman dan keinginan yang sama untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis.


festival-petik-laut-puger

Saya, sebagai anak muda yang tak pernah habis rasa penasaran, belajar banyak hal dari acara petik laut. Bahwa sudah semestinya kita selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pemilik alam semesta, termasuk pemilik kesenangan dan kesedihan yang melekat pada diri kita.

Juga, perlunya kesadaran untuk saling memberi dalam bentuk apapun dan untuk siapapun. Misalnya, memberi makan kucing yang kebetulan sedang membersamai kita saat menunggu angkot lewat. Atau sekadar menyiram tanaman yang ada di dekat kita. Bukankah memberi itu tidak pandang bulu?

Mengikuti serangkaian acara festival petik laut, memberikan catatan tersendiri bagi saya. Banyak hal yang saya pelajari, dan banyak ilmu yang saya dapat. Tentunya segudang kenangan yang menyelimutinya, membuat saya ingin mengunjunginya kembali.

pantai-pancer-puger

Petik laut diselenggarakan setiap tahun. Tahun ini, petik laut kira-kira akan berlangsung pada akhir September atau awal Oktober. Lebih tepatnya menjelang 1 Suro. Maka, saya akan mempersiapkan diri untuk berkunjung lagi ke Pantai Pancer, Puger.

Puger, dengan festival petik lautnya, merupakan salah satu destinasi wisata Jember yang tak kalah menarik. Keunikan dan kekhasan kegiatannya, menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.


Jadi, ayo persiapkan diri untuk menghadiri Festival Petik Laut di  Puger. Jangan lupa, ajak pula teman-teman lainnya supaya acara semakin meriah dan seru. Bisa jadi, kehadiran kita dan teman-teman lainnya pada acara Festival Petik Laut di Puger mampu menjadikan Jember makin rame.

Wassalammualaikum wr wb 💕




NB:

📌Sumber informasi: Abdul Gafurur Rohim, 2009

📌Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog yang diselenggarakan oleh Taman Botani Sukorambi dan Bloger Jember Sueger #2



Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

35 komentar

  1. petik laut
    tapi acaranya larung sajen
    harusnya namanya ganti jadi hanyut laut nih
    hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangaaaan, ntar orang2 terhanyuuut
      Biarlah namanya petik laut. Keren 😂

      Hapus
  2. KENAPA FOTONYA BAGUS-BAGUS YA?! Pasti ada teknik khusus nih buat bikin yang baca ngiler. Hahahahaha.

    Tapi serius emang nuansanya cerah-cerah terik gitu ya. Panasnya segimana sih di sana? 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh gak juga kok Gip 😅
      Itu cuma pake kamera hape biasa
      Tapi kuedit brightness sama contratsnya. Biar agak terang dikit sama biar tajam warnanya. Hahaha

      Hmm panas2 sejuk sih. Gak terik2 banget kok 💃

      Hapus
  3. Ini termasuk pantai selatan kan ya? magis ya... Suka cara ambil gambarnya bagus.
    Musti kesana nih, penasaran tgl 1 suro itu acaranya seramai apa, model suroan apa sekatenan ya mirip di Jogja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyes, ada unsur magisnya.. tapi itu dulu. Sekarang udah dikesampingkan, soalnya masyarakat udah pinter2 😂😂

      Hapus
  4. Suka dengan acara kirab budayanya, penuh dengan kearifan lokal, semoga acara seperti ini tetap ada dan dilestarikan ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... Inshaa Allah tetap akan dilestarikan kok 💕

      Hapus
  5. Sukmben foto-foto sing akeh neng, ben ora kekurangan bahan foto postingan.. hehe

    BalasHapus
  6. Wah kalo di tempatku namanya Lomban mbak. Acaranya di hari ke 7 bulan Syawal. Yaa.. Hampir sama lah esensinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oooh Lomban ya. Boleh nih kapan2 aku nonton festival di sana 🙌🙌

      Hapus
  7. hai kak Ros, salam kenal ya :)
    artikel ini lengkap dan informatif sekali. nambah pengetahuanku soal festival petik laut puger.

    aku penasaran, itu kepala sapi sama kambingnya beneran kak? :D

    BalasHapus
  8. Saya pikir petik laut itu Kita mengambil sesuatu dari laut, ternyata larung sesaji ya, Tak hanya di gunung untuk melarung sesaji, ternyata di laut juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku pikir juga gitu. Petik yang dimaksud itu memetik hasil laut. Ternyata bukan. Lebih cenderung sedekah laut, untuk memetik keberkahan dari laut. Mungkin lebih tepat begitu ya 💕

      Hapus
  9. Rameee
    Ternyata gak jauh beda kebudayaannya sama di Jepara. Seneng pastinyabs ikut dan menyaksika acara larungan ke laut. Aku blm pernah ikutan karena acaranya pagi2 sih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama sih ini pagi juga. Tapi mumpung masih muda dan ada kesempatan. Ya berangkat daaaah 💃

      Hapus
  10. sama kayak di tempatku, ada acara petik laut. Dulu sih sering lihat. Tapi sekarang rempong sama nak kanak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Kan tetep seru main sama anak2 😂😂

      Hapus
  11. Festival2 budaya kayak gtu tu selain bikin warga bisa melestarikan budaya yang ada jg bisa bikin wisatawan datang berkunjung ya. Noted Oktober, kalau wajib menginapnya sdekeluarga boleh? hahaha #dikeplakKakRos :D

    BalasHapus
  12. Wah acaranya seru banget, baru tau tentang petik laut. Memang kalau masalah makna sekarang sudah bergeser lebih ke menyeimbangkan antara semuanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Alhamdulillah pemaknaannya semakin mengarah kepada hal yang baik 💕

      Hapus
  13. Laut sebagai sumber kehidupan memang harus dijaga keseimbangannya. mengucap syukur kepada Yang MAha Kuasa juga harus dilakukan agar manusia bisa berimbang antara hidup dan bersyukur

    BalasHapus
  14. Di tempat tinggal saya dulu, juga ada upacara serupa dengan acara petik laut seperti di Jember. Hanya namanya saya lupa hihihi...
    Tapi sebagian besar ritualnya hampir sama. Sebelum menghanyutkan kepala kerbau dan aneka makanan lainnya, juga diadakan kirab.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuah jadi penasaran. Di sana namanya apa ya? 💕

      Hapus
  15. Terpesona aku sama ceritanya Roos...
    Bagus banget, Roos...budaya orang Jawa yang aku yakin, beberapa nelayan yang tinggal di pesisir pantai meyakini halyang serupa.

    Memberikan sesajen sebagai bentuk pengorbanan.

    Semoga Roos menang yaa...
    Love.

    BalasHapus
  16. Destinasi wisata dan budaya JemBer begitu unik yaa kak. Blogger Eksis mau masukin wishlist traveling deh ke kota ini*

    BalasHapus
  17. di Jogja juga ada mba upacara adat ngelarung sesajen gitu agar para nelayan bisa mendapatkan ikan yang melimpah dan diberi keselamatan saat melaut.. Saya tadi kira festival petik laut itu kayak lomba mancing ikan hehe... ternyata saya salah

    BalasHapus
  18. Festival semacam ini selalu menarik untuk diperbincangkan. Terutama mendiskusikan bagaimana tradisi lokal mampu bertahan di tengah gempuran pemikiran-pemikiran modern. Dan apakah festival yang banyak upacara simbolisnya ini tetap menjadi kekhusyukan dalam berbudaya atau mulai memandang daya tarik wisatawan atas daerah tersebut. Wuuw.. Selalu suka kalau membicarakan hal-hal seperti ini.

    BalasHapus
  19. Sejarah petik laut ini mantap juga. Bisa menjadi cerita turun menurun. Saya paling suka jika pas tahlil akbar, makan kenyang dan sepuasnya.

    BalasHapus
  20. Rameee arak-arakan pawai larung sesajinya...
    Itu ada yang pakai kain khas Bali ya, motif kotak-kotak.

    Kebayang besarnya ombak di batu karang menjulang, Plawangan.
    Kita yang bukan nelayan, pasti super ketar-ketir naik perahu di dekat sana 😅

    BalasHapus
  21. kalo diajakin temen2 ke tiap acara petik laut ini mesti ga bisa hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar