Belajar dari Teh Rina

13 komentar
Konten [Tampil]
Assalammualaikum wr wb

Hmm tulisan ini dibuat tidak ada maksud untuk menggunjing atau ngerasani Teh Rina, alias Rina Nose yang akhir-akhir ini sedang diperbincangkan karena keputusannya untuk lepas hijab. Melainkan tulisan ini ada sebagai pengingat diri dan pembelajaran terhadap diri saya sendiri, yang perlu sekali saya catat, sebagai bagian dari proses saya beriman.
sumber gambar: jalaon.com

Teh Rina yang Menjadi Trending Topic

Pada suatu malam, belum genap seminggu yang lalu, seperti biasanya saya membuka twitter, hendak stalking seseorang yang selepas sholat selalu saya mintakan hatinya kepada Sang Pemilik Hati. Ketika saya mau search akun seseorang yang selepas sholat selalu saya mintakan hatinya kepada Sang Pemilik Hati, muncullah trending topic di laman twitter. Biasanya saya baca sebentar tentang topik apa yang lagi ngehits saat itu. Kemudian dahi saya mengernyit ketika kata "Rina Nose" menjadi trending topic ketika saat itu. Ada apakah?


Rina Nose merupakan salah satu artis yang saya kagumi. Ya lucu aja sih dia. Dia pandai bercanda dan ekspresinya selalu lucu. Saya semakin kagum ketika beliau memutuskan untuk memakai hijab. Sungguh, makin cantik. Pas banget kalau pake hijab. Apalagi ketika dia jadi host acara traveling yang mengharuskannya bermain gimmick dengan mantan suaminya yang menjadi produser di acara tersebut. Duh laaaah, relationship goals banget gitu… mantan suami dan mantan istri bisa akur banget dan lucu banget. Ehtapi saya maunya sih yaa saya nikah tanpa ada kata mantan. Hmm… menjadi pasangan selamanya dunia akhirat :D

Atas rasa kagum dan menaruh perhatian yang lebih kepada Teh Rina, saya klik kata “Rina Nose” yang sedang menjadi trending topic di twitter. Saya baca perlahan… perlahan… Lah kok? Dia lepas hijab?

Duh laaah… eman banget… sayang banget… Ada apa toh, Teh?

Saya scroll lagi sampai ke bawah… Bukti-bukti Teh Rina sudah ada, ketika dia tampil live pada acara kompetisi dangdut di televisi nasional. 

Saya baca tweet-tweet netizen mengenai pendapatnya tentang Teh Rina. Ada yang menyayangkan (seperti saya), ada yang menghujat, ada yang memaki, ada yang menguatkan, dan ada yang terimo ing pandum. Ada beragam komentar tentang keputusan Teh Rina.

Tak berhenti sampai saat itu, beberapa tweet netizen mengarahkan saya untuk meluncur ke media sosial instagramnya Teh Rina. Pada postingannya yang terakhir, hmm dia menuliskan caption yang cukup panjang, dengan didukung oleh foto yang ingin ia sampaikan bahwa ia ingin jujur terhadap pemikirannya.

Saya rasanya… gelo. Gimana gitu. Gimana yaa… Menyayangkan banget lah… ya karena saya juga kagum ke Teh Rina.

Momen yang Beriringan
Sejujurnya, saya cukup shock dengan keputusannya. Bukan karena apa, tetapi keputusannya itu berpengaruh kepada perasaan dan mental saya. Iya, saya.

Di lain sisi, pada malam itu juga saya sedang berdiskusi dengan teman-teman bloger di WAG, yang kami menamakan diri kami sebagai Enchanting Ladies. Kebetulan, hari itu adalah hari pertama deadline arisan link yang menjadi proyek kami. Tema pertama hari itu, yang harus diselesaikan malam itu juga adalah tentang gaya berhijab saat traveling. Ya kami bercerita tentang hijab yang nyaman, hijab yang pas dan cocok, juga alasan-alasan tentang kekonsistenan kami terhadap gaya hijab favorit.

Dengan tema yang sama, kami berharap tulisan itu dapat berpengaruh bagi orang-orang yang singgah ke blog kami. Kami tidak tahu betul, orang-orang akan mendapatkan kebaikan dari blog kami pada kalimat yang mana, pada paragraf yang mana, atau pada foto yang mana. Yang kami pahami, selama kami menulis kebaikan, maka kami akan menyebarkan kebaikan pula yang luasnya tak terbatas.

Kejadian Teh Rina lepas hijab dan kami yang berdiskusi tentang gaya hijab saat traveling, merupakan momen yang terjadi beriringan, dan sama-sama bermuara pada topik yang sama, yaitu hijab. Memang topiknya sama, tapi kontras, berkebalikan, apalagi ini jelas kaitannya dengan agama.

Saya shock. Saya kecewa. Di saat kami menyampaikan kepada orang-orang bahwa berhijab itu enak dan nyaman (pun saat traveling), lalu di saat yang sama pula seorang public figure yang memiliki 9,5 juta pengikut di instagram justru melepas hijabnya. Ini sebuah ketimpangan yang sangat kontras, bukan?

Singkat kata, pada saat kami berjuang menyampaikan kebaikan, mengapa ada orang yang melepas kebaikan? Apalagi dia adalah seorang public figure yang kami nggak ada apa-apanya. Seakan-akan tulisan kami tenggelam begitu saja.

Bukaaaan…. Saya bukan mempermasalahkan Teh Rina yang lepas hijab, namun mengapa kejadiannya saling berdekatan laksana momen penting yang sulit terlupa karena biasnya terlalu jauh?

Ini bukan pertama kali saya mendapati momen yang sangat kontras seperti ini. Dulu pernah saya alami. Singkat cerita, saya bersama teman-teman sedang bersiap menginspirasi anak-anak sekolah dasar di Lumajang untuk rajin belajar dan berani bermimpi akan masa depan, eh njilalah lah kok ada seorang bapak-bapak beserta komplotannya yang melakukan pembunuhan berencana kepada aktivis tambang, Salim Kancil.

Rasanya gimana gitu. Perih. Menyayat hati. Di saat kami berbondong-bondong menginspirasi anak negeri, eh malah situ merusak mimpi anak-anak secara tidak langsung. Kegiatan yang seharusnya ramai dan dilirik orang-orang, malah tenggelam karena peristiwa Salim Kancil lebih menarik. Duh, perjuangan kami dalam menginspirasi cuma apalah atuh… nggak lebih besar dari cuilan genteng yang menjadi makanan favorit Mimi Peri.

Sebuah Pencarian
Saya paham benar, bahwa Teh Rina merupakan seorang wanita yang pandai, terlihat dari kelihaiannya berkata-kata, salah satunya dalam membuat caption di instagram. Dengan hal sederhanapun, saya sudah menilainya pandai.

Saya meyakini, bahwa yang dilakukan Teh Rina, bukan serta merta didapatkan dari sesuatu yang lewat secepat kilat. Melainkan berproses dari beberapa bulan ke belakang, dengan membaca kehidupan. Tentulah yang dibaca oleh Teh Rina adalah berbeda dengan saya dan kita. Yang kita tidak perlu menjudge Teh Rina karena proses pencarian jati dirinya.

Saya pernah menjadi Teh Rina dalam hal pencarian, tentu dengan konteks yang berbeda, namun masih memiliki satu benang merah yang sama.

Saya mengawali pendidikan formal di TK dan SD yang bernuansa islami. Ibu dan Ayah sengaja menyekolahkan saya di sana, supaya saya bisa belajar ilmu agama yang sepaket dengan ilmu sains dan sosial. Namun tidak banyak hal yang saya pelajari, ya maklum, masih 8 tahunan saya belajar tentang ilmu agama yang jelas-jelas masih pendidikan dasar.

Pada suatu sore, ketika saya SMP, ada seorang tetangga yang berkunjung ke rumah saya. Dia sering main ke rumah untuk ngobrol dan curhat dengan Ibu. Kebetulan waktu itu kami sedang ngobrol sembari menunggu Ibu.

Di lain sisi, saya ada sebuah pemikiran mengenai agama. Saya heran, kenapa ada banyak agama di dunia ini? Mengapa tidak satu saja? Mengapa Islam percaya dengan Tuhannya? Mengapa kristen membenarkan keberadaan Tuhannya? Mengapa Buddha Hindhu meyakini dewa-dewa itu sebagai Tuhannya? Mengapa Tuhan kami berbeda? Maksud saya, mana yang benar, kok semua agama memiliki Tuhan yang beda-beda?

Langsung saya tanyakan kepada tetangga saya itu, yang saya pikir pemahaman agamanya lebih kuat daripada saya. “Hmm… sebenarnya agama yang benar apa sih? Islam atau kristen?” begitulah persisnya pertanyaan yang saya lontarkan dengan wajah polos.

Tetangga saya itu kaget. Lalu dia marah-marah ke saya. Marah-marah nggak jelas. Nggak memberikan jawaban juga. Cuma marah-marah karena kaget dengan pertanyaan saya yang hmm begitu dah.

Lah gimana? Harusnya kan saya dinasehati atau diberi jawaban yang baik-baik. Bukan seperti ini yang marah-marah, lalu berlalu meninggalkan saya, tanpa memberikan jawaban. Duh lah, saya cuek deh. Mungkin saya akan menemukan jawabannya di lain waktu.

Alhamdulillah… saya menemukan jawaban atas pertanyaan saya seiring berjalannya waktu. Saya mendapatkannya dari membaca. Membaca yang saya maksud, bukan hanya membaca buku, melainkan membaca berita, menonton televisi, membaca fenomena, mengikuti kabar negara lain melalui media sosial, berdiskusi dengan teman muslim dan non muslim, serta banyak lainnya.

Dari membaca tersebut, saya semakin yakin untuk terus berbuat baik dan menebar kebaikan. Diri ini semakin positif, namun saat itu saya masih belum menaruh nama Allah di hati saya. Hati saya masih tertutup. Memang sih beriman, tetapi ya masih biasa saja. Ya saya menjalankan ibadah sholat, puasa, dan sebagainya, tapi ya seperti aktivitas biasanya saja, masih belum ada rasa butuh dan butuh banget. Iya, karena saya berada di comfort zone.

Saya baru terlepas dari zona nyaman, ketika saya kuliah. Saya tinggal di perantauan yang jaraknya hanya sepelemparan batu, nggak lebih dari 2 jam perlajanan. Tetapi, tinggal tidak bersama orang tua yang selalu memastikan keamanan dan kenyaman saya, membuat saya banyak-banyak berdoa. Entah kenapa saya bisa berdoa sebegitu erat. Mungkin karena "butuh" dan aih kenapa saya baru mendekat di saat "butuh" itu? Ah, hamba laknat.

Dulu, saya juga sempat bertanya: Mengapa saya dilahirkan dalam keadaan Islam? Mengapa saya dilahirkan tidak dalam keadaan beragama Kristen? Atau mengapa saya harus mengenal agama sejak lahir?

Aih, pertanyaan saya memang nyebelin. Seakan-akan menantang kodrat. Seakan-akan tak percaya Tuhan. Tapi kan wajar, saya masih dalam proses pencarian saat itu. Ya beda-beda tipis lah yaaa sama Nabi Ibrahim 😆

Ya tapi bagaimanapun, itu adalah bagian dari hidup saya, bagian dari pencarian jati diri saya. Yang sangat memberikan pelajaran bagi kehidupan saya.

Ohya, pertanyaan tadi, akhirnya terjawab juga 😆 Saya menemukan jawabannya versi diri saya sendiri.

Memang enak sih kalau saya terlahir ateis atau tidak sedang beragama. Dari latar belakang tersebut, saya bisa melakukan pencarian terhadap agama-agama yang menurut saya benar. Hmm bisa jadi saya akan berpindah agama karena saking ingin tahunya mana agama yang benar. Eh tapi, kalau saya seperti ini, misalnya belum menemukan Islam namun nyawa sudah dicabut, lah saya masuk neraka dong? Ya saya jelas nggak mauuu...

Ya sudahlah, mending saya beragama Islam sejak lahir, mempelajarinya secara perlahan, lalu meyakini bahwa Allah lah sebenar-benarnya Tuhan.

Dampak Langsung Terasa
Tadi malam, kebetulan saya sedang berada di rumah, lalu berkesempatan menonton televisi. Ibu menonton acara kompetisi dangdut favoritnya, yang ada Soimahnya. Saya perhatikan hostnya. Hanya ada Ramzi, Irfan Hakim, dan Gilang Dirga. Loh, Teh Rina kemana?

Saya dan Ibu yang juga kagum dengan Teh Rina, berprasangka positif bahwa Teh Rina mungkin lagi sakit, gegara kepikiran komentar dan cibiran orang yang tak henti menghujat dirinya. Apalagi dia seorang public figure, yang apabila melakukan kesalahan sekecil biji jagung, akan tetap tersorot oleh media massa yang seakan-akan menjadi Tuhan.

Lalu sore kemarin, saya mendengar kabar bahwa Teh Rina diminta mundur atau angkat kaki oleh pihak televisi nasional. Makanya beliau tidak lagi terlihat di acara kompetisi dangdut tersebut. Padahal sepi kalau nggak ada Teh Rina, tapi ya mau gimana lagi, semua adalah keputusan Teh Rina yang sudah dipikirkan matang-matang.

Ibu shock dengar kabar bahwa Teh Rina nggak ngehost lagi di acara televisi yang gede banget. Kata Ibu, itu dampak langsung yang dikirim Tuhan untuk Teh Rina. Maksud Ibu, Allah murka terhadap keputusan Teh Rina yang tak lagi meyakininya. Lalu dikuranginlah rezekinya, begitu kira-kira maksudnya.

Namun saya meyakini, Allah nggak akan membiarkan hamba-Nya tak berezeki. Allah nggak akan membiarkan hamba-Nya kelaparan karena saya tahu bahwa Allah Maha Baik.

Percaya Akan Kekuatan Diri Sendiri
Kemarin sore juga, saya menonton video wawancara eksklusif Deddy Corbuzier kepada Teh Rina. Yaaa saya melihat Teh Rina sudah tak berhijab, tergerai rambutnya yang sepertinya sempat dicatok. Pada sorot matanya, terlihat jelas bahwa ia sedang bersiap menjawab pertanyaan Om Deddy yang mewakili suara hati netizen zaman now.

Selama kurang lebih dua puluh menit wawancara yang terselip curhatan, tak satupun terjawab pertanyaan: Kenapa Rina Nose lepas hijab? Justru muter-muteeer aja jawabannya di situ. Terkesan mencari-cari alasan. Eh bener nggak sih?

Ohya, untuk teman-teman yang belum tahu videonya, boleh tonton aja di sini: Video Rina Nose Wawancara Lepas Hijab dengan Deddy Corbuzier. 

Hmm videonya membosankan sih. Lebih seru membaca komentar masyarakat wkwkland 😆
Ehtapi dari komentar-komenta itu saya juga belajar banyak sih. Tapi yaa, disaring aja yang bagus-bagus, soalnya komentar cibiran dan caci maki lebih banyak sih 😅

Saya menonton video tersebut. Menyaksikannya secara seksama dengan mendekatkan speaker ke telinga. Suaranya sendu-sendu tipis euy.

Hal yang saya garisbawahi dalam video tersebut adalah: eh ini beneran Teh Rina nggak nyebut Tuhan atau Allah sama sekali?

Saya tanyakan hal itu kepada teman saya yang kebetulan posting video tersebut di wastorynya. Teman saya itu mengiyakan pertanyaan saya.

Hah? Serius ini, Teh?

Hmm... ada hal lain juga yang saya tangkap dari video tersebut. Ini Teh Rina bilang pasrah, ikhlas, yakin, dan sebagainya, itu ditujukan kepada siapa, Teh? 

Yang saya tangkap, bahwa dia pasrah, ikhlas, dan yakin terhadap kekuatan diri sendiri. Semoga pemahaman saya dalam menafsirkan video itu adalah salah. 

Mencoba Saling Memahami
Saya mencoba memahami keadaan Teh Rina dan keputusannya. Yang saya yakini bahwa Teh Rina mengambil keputusan itu bukan semata-mata hasil pemikirannya selama sehari-dua hari, melainkan berbulan-bulan lamanya. Toh saya juga pernah berada di sisinya, namun menghasilkan keputusan yang berbeda.
Ternyata memang benar, Teh Rina memberikan tanda-tandanya lewat instagram. Saya mengetahuinya dari sebuah tulisan yang saya cari di google 😅 Memang nggak 100% akurat sih kalau mencarinya di google. Tapi saya rasa, tulisan itu mengandung analisis yang masuk akal. Tulisannya bagus banget. Cukup menjawab pertanyaan saya. Namun saya sadar bahwa jawaban yang ia berikan masih sebatas praduga, belum ada klarifikasi secara langsung dari Teh Rina.

Btw, saya barusan cari-cari tulisan yang saya maksud itu ya, tapi saya nggak nemu-nemu. Maaf yaa 😆 Eh tapi saya kasih ini deeeh... foto-foto beserta caption instagramnya Teh Rina, yang menurut saya dan tulisan itu adalah tanda-tanda tentang Teh Rina yang akan lepas hijab.

---
Ada pelajaran baru yang saya dapat dari penduduk Jepang selama dua hari saya disini. Mayoritas penduduk sini rupanya tidak memiliki kepercayaan terhadap suatu agama, bahkan Tuhan. Tapi sebagian mereka percaya bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar dari diri mereka. . Ada yang menarik, tanpa kepercayaan terhadap agama tertentu, mereka begitu menjunjung tinggi nilai moral dan kemanusiaan. Memiliki rasa syukur yang begitu besar atas semua kenikmatan yang mereka peroleh, dengan cara menghormati setiap makhluk hidup, makanan dan alam. Memiliki kesadaran tinggi akan ketertiban, kedisiplinan, dan kebersihan. Sulit menemukan tempat sampah di sini, tapi juga sulit menemukan sampah berceceran di setiap sudut nya. Hampir tidak ada.(Mungkin saya belum mengunjungi semuanya, tapi sejauh mata ini melihat, memang setiap sudutnya terlihat rapih dan bersih) . Satu hal lain yang menarik perhatian saya, ketika saya menemukan beberapa penduduk asli yang tiba-tiba ingin memeluk suatu kepercayaan. Kemudian saya bertanya, kalau hidupmu sudah sebaik ini tanpa agama, lalu kenapa kamu ingin mencari Tuhan dan ingin memiliki agama? . Mau tau jawaban nya? Saksikan @comedytravelertranstv season-2 special Jepang, segera..! 😜 . Photo by @greggygiorgio
Sebuah kiriman dibagikan oleh Rina Nose (@rinanose16) pada
----

Eh saya upload foto ini aja ya. Jaringan internet saya lagi lemot. Foto lainnya bisa teman-teman cari sendiri di akun instagram Rina Nose @rinanose16.  Cari aja 3 foto terakhir yang Teh Rina pakai turban dengan filter hitam putih. Di situ Teh Rina ngasih tanda. Mungkin teman-teman bisa menafsirkan sendiri dan dapat menjadikannya pelajaran. Mungkin.

Belajar dari Teh Rina

Biarlah Teh Rina menggenggam alasannya kuat-kuat, erat-erat. Biarkan ia meyakini kekuatan dirinya sendiri. Kita yang hanyalah manusia biasa, tentu tak akan mampu menggerakkan hati Teh Rina untuk kembali berhijab. Karena kita meyakini bahwa kita manusia biasa yang tak berdaya, yang tak memiliki kekuatan. Kalaupun kita memiliki kekuatan, pastilah itu bukan hasil dari kita, melainkan diberikan langsung atas belas kasih Allah SWT.

Sejujurnya, saya banyak belajar dari Teh Rina mengenai alasan dan keputusannya lepas hijab. Keputusannya menjadi pelajaran bagi saya bahwa saya harus pandai-pandai membentengi diri saya supaya iman saya tetap kokoh, apalagi mengetahui track record saya yang seperti itu.

Duh laaah... saya bener-bener deh... bener-bener minta ke Allah supaya Allah tetap menjaga saya untuk selalu beriman kepada-Nya.

Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya mohon dengan sangat kepada teman-teman yang kebetulan membaca, untuk mengingatkan saya atau menegur saya atas salah-salah saya dalam berkata dalam menulis postingan ini. Bener deh, saya nggak luput dari alpa dan khilaf.

Teman-teman, terima kasih sudah bersedia membaca sampai akhir. Semoga kita bisa selalu merendahkan hati untuk kebaikan sesama.
Wassalammualaikum wr wb


Related Posts

13 komentar

  1. Saya juga termasuk yang menyayangkan tapi juga tidak berniat untuk menjudge teh Rina. Mending kita sama2 berdoa agar hidayah kembali menghampiri beliau dan para influencer lainnya agar bisa menginspirasi banyak orang.

    BalasHapus
  2. Wah saya juga ditanya masalah ini sebenernya, jujur, saya sama sekali gak peduli tentang keputusan Rina Nose. Kenapa? Karena Rina Nose sudah dewasa dan mengetahui segala konsekuensinya. Jadi ya itu juga gak berpengaruh ke saya juga. Terlebih lagi menurut saya beragama maupun tidak, berpacaran maupun tidak... itu merupakan hal personal yang orang luar gak patut ikut campur maupun ngejudge. So ya, dari hal ini Rina Nose harusnya berhati-hati sebagai publik figur sih.

    BalasHapus
  3. Mungkin Rina mau pindah agama kali yah hahah..
    so well kalau menurutku,, kemuliaan wanita itu bukan dari purdah atau hijab yang dia kenakan, tapi ketika dia bisa tinggal dirumah dalam ketaatan kepada Allah dan rasulnya, kalau hijab, masih keluuyuran, pamerin muka kesana kemari, kesannya jadi kurang afdol gituh... yah itu sih pendapatku, jadi Rina gak masalah kok lepas hijab, asalkan tinggal dirumah dan gak dilihat sama yang bukan muhrimnya hahah, gitu sih,, karena konsep hijab sendiri sebenarnya supaya wanita itu tidak dilihat oleh laki2 yang bukan haknya,
    menutup aurat itu adalah kewajiban yang perlu "dipaksakan" pada seorang wanita muslim, kalau sudah bisa ikhlas, maka insyallah istiqomah dalam ketaatan,
    semoga allah mengekalkan hidayah yang terdapat pada hati kita,... :D

    BalasHapus
  4. Halo Kak
    Aku termasuk yang biasa aja saat tahu berit tentang Rina Nose yang lepas hijab. Sedikit banyak aku juga mengalami apa yang dia alami. Itu ham siapapun untuk menentukan keputusan yang akan berimbas pada dirinya dan kehidupannya. Semoga diberi jalan terbaik. Aamin

    BalasHapus
  5. Memang disayangkan sebab beliau jadi panutan banyak orang. Banyak yg kecewa. Dan memang tiap ada artikel tentangnya...yg seru itu baca komen2nya. Hihi

    Semoga kita istiqomah yaaa...

    BalasHapus
  6. aku gak terlalu ngikutin berita si rina, tapi sempet liat tt di twitter. ya kalo keputusannya mau lepas hijab adl pilihannya ya gimana lagi. itu sudah pilihannya.

    BalasHapus
  7. Tulisannya bagus, kakaaa...terima kasih sudah menuliskan ini membuat saya yang dijejai gosip tidak jelas menjadi lebih adem

    BalasHapus
  8. Saya tahu Rina Nose lepas jilbab dari media sosial. Biasalah dari kehebohan pengguna medsos. Dari situ, saya baru tahu cerita yang sebenarnya...hihihi..gak update ya..

    Anyway ... Iman itu turun naik, oleh karenanya kita memang harus bisa terus berusaha agar keimanan kita gak turun. Terus berdoa agar tetap istiqomah di jalan yang benar.
    Islam gak ngajarin kita untuk memaksakan sesuatu. Mungkin hidayahnya saja yang belum datang.
    Berkaca dari kasus ini, lebih baik kita memperbaiki diri sendiri dulu dan berdoa agar tetap istiqomah aamiin...

    BalasHapus
  9. aku malah enggak update masalah rina nose mbak, enggak suka, entah kenapa. hehehe. sayang memang dengan keputusannya ya

    BalasHapus
  10. Aku tau beritanya pas ada update status lalu baca komen. Gugling dan wait, baiklah

    Pas malamnya aku msh liat dia di tv, gak pakai hijab. Skrg gak tau sih krn nntn pas iseng aja buat liat

    menyayangkan iya, tapi itu balik ke dia sih. Kita enggak knal, liat di tv aja. Susah kalau bicara keyakinan sementara dia udah gak yakin

    Kita bicara Islam sampai berbusa tp dia mantap sama iman dia, kita bs apa? Urusan surga neraka bkn kita, tp Tuhan

    BalasHapus
  11. Saat menjadi public figur maka sebagian hak sipil sebagai manusia akan jadi konsumsi publik. segala macam tindak tanduk akan jadi pro dan kontra masyarakat. Tapi pastinya RIna Nose punya pertimbangan yang panjang dan lama dengan segala keputusannya :)

    BalasHapus
  12. Saya nggak tau siapa Rina Nose saat ada trending topic itu. Hihihi. Cuma kayaknya pernah denger aja namanya, udah lama gak punya tipi soalnya :D
    Btw iya, kita sebagai muslim dan "pemirsa" sang public figure, tentu merasa kecewa ya dengan keputusannya. Tapi yaa cuma bisa sebatas kecewa, sih. Kalau itu sudah keputusannya, mau gimana lagi. Kalau kita masih sayang sama dia, ya doakan saja semoga Allah masih mau membukakan pintu hidayah-Nya kepada dia :)

    BalasHapus
  13. Honestly, aku malah baru tau kalau rina idung sempat berjilbab ya gara2 kasus ini. Aku nggak punya tv dan ngikuti berita infoteinmen. Pun nggak ngefollow artis ataupun infoteinmen. Hihi. Komenku adalah, cantik banget rina pake jilbab.

    BalasHapus

Posting Komentar