Ibu Peri dan Alunan Kesedihan

Konten [Tampil]
Pagi itu, mata telah sendu. Tiba-tiba masalah datang tanpa mengetuk pintu, membuat diri ini menangis pilu. Sesenggukan menahan tangis sendiri tanpa ada yang tahu. Ini bukan rindu, melainkan masalah yang tak kunjung sembuh.

Siang itu, aku mengajaknya keluar, sama-sama keluar dari rumah. Dengan maksud bertemu guna menyelesaikan masalah. Dengan mata sembab, aku mencoba mencari lokasi yang pas, yang enak juga sekiranya ramah. Maksudnya ramah dari pandangan mahluk berwajah.

Siang itu pula, aku menunggunya. Di bawah atap yang terbuat dari daun kelapa, aku menunggu kedatangannya. Mata ini terasa berat. Berat menahan bendungan air mata. Pikiran ini melayang entah kemana. Mengorek-ngorek kisah yang telah lama. Mencabik-cabik masalah berselimut duka.

Sore itu pula, aku masih menunggunya. Iya, di tempat yang sama. Tapi dia tak kunjung datang. Alasannya sama, dia tidak suka dengan tempat yang aku tawarkan. Padahal bersusah-susah aku mendapatkannya. Mungkin rasa kecewanya terlalu dalam. Sehingga enggan menemui diri ini yang nista.

Ibu peri, mengapa aku sebodoh ini? Menanti yang tak pasti, yang menunggunya tak sekedar lima menit.

Sebenarnya, bukan dia saja yang kecewa. Aku pun kecewa dengannya. Dia kecewa perihal komitmen yang aku dan dia telah sepakat. Aku mau tidak mau menyepakatinya, meskipun itu melanggar prinsip yang telah lama kutanam, karena dia tidak mau mengalah. Pada akhirnya, aku melanggarnya dengan sangat mudah. Dia marah. Kesepakatan yang dia tawarkan adalah keegoisannya, yang melanggar prinsipku semula. Yang aku tanyakan, bagaimana bisa dia sangat menghormati prinsip orang lain sedangkan dia tidak menghargai prinsip orang yang di dekatnya? Apa diri ini terlalu hina?

Ibu peri, mengapa cinta kepada manusia serumit ini? Sudah kuberikan seluruh jiwa, raga dan hati. Tak ada yang tersisa, semua telah ia ambil.

Sebenarnya juga, masalahku tak sesederhana di atas. Banyak pula induk-induk masalah lainnya yang tak kunjung teredam. Kalau dia kecewa dengan komitmen di atas, ya apalagi aku yang telah dibuyarkan berkali-kali perihal kepercayaan?

Ibu peri, apa yang harus aku lakukan? Aku mulai lelah menahan. Aku pun tidak lagi mendengar indahnya alunan. Yang terdengar hanyalah alunan kesedihan.

Ibu peri, bolehkah aku meminta satu hal? Ijinkan aku tertidur pulas, tanpa mengenal batas siang dan malam. Karena siang telah terluka. Karena malam telah berduka.

cerpen-ibu-peri

Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

Posting Komentar