Happy First Night - Baleriano Chapter 5

Konten [Tampil]
naskah-novel-baleriano


“Tumben ya, Jakarta nggak macet,” cetus Davin di belakang kemudi.

“Jangan bilang begitu, tiba-tiba macet, baru tahu rasa kamu,” ujarku yang berada di samping Davin.

Davin mengantarkanku pulang. Dan kami masih berada di jalanan bundaran HI. Herannya, jalanan di sini lenggang sekali. Salah satu hal yang dirindukan oleh orang Jakarta adalah lenggangnya jalan raya milik orang Batavia sebagai warga pribumi DKI Jakarta.

Tlah kuberikan semua ~
Tlah kurasakan bersama ~
Sampai terhenti nafasku ini ~
Hanyalah untukmu ~
Hidupku kan damaikan hatimu ~
Diriku kan slalu menjagamu ~
Izinkan ku slalu bersamamu ~
Kasihku padamu ~

Davin memutar lagu berjudul Hidupku ‘Kan Damaikan Hatimu yang dinyanyikan oleh band Caffeine yang sedang naik daun. Lagunya sangat easy listening. Musiknya seirama dan senafas dengan liriknya.

Sambil menikmati lagu yang sedang ngetrend tahun ini, aku merogoh tasku. Mengambil sesuatu yang bisa kujadikan sebagai alat penghibur diri ketika aku sudah mulai bosan. Tak berapa lama kemudian, aku mendapatkan sebuah spidol besar berwarna hitam yang terselip di bagian dalam tasku.

Aku memainkan spidolku dengan menggoyang-goyangkannya, berusaha mencari inspirasi.

“Kamu ngapain? Kok bawa-bawa spidol? Buat apa?” tanya Davin penasaran yang sempat menoleh padaku sekilas.

“Hmm... ada deh...” sahutku yang mencoba menyembunyikan maksudku membawa spidol.

“Eh ya, Vin, aku mau nanya. Benda apa yang paling kamu sukai di mobil ini?” tanyaku.

“Hah? Benda?” Baru kali ini aku tahu betapa lucunya Davin ketika ia mengerutkan dahi yang disertai dengan menebalnya alis mata secara mendadak.

“Iya... benda apapun...” sahutku lagi.

“Hmm...”

Lama Davin berpikir, sampai akhirnya ia berkata, “Jok yang sedang kamu duduki.”

Kali ini dahiku yang mengkerut. Di sini? batinku sambil melihat jok yang sedang aku tempati.

Hmm... sepertinya boleh juga.

“Buat apa sih?” tanya Davin lagi yang sepertinya semakin penasaran.

“Buat... ini...” seruku sambil membuka tutup spidol lalu menggambar emoticon berupa smile di jok yang sedang aku tempati. Davin yang melihat ulahku hanya tersenyum tipis, sepertinya menahan emosi. Lagipula, buat apa emosi buruk dipamerkan?

Gambar emoticon yang berukuran kira-kira tidak lebih dari 2 cm x 2 cm membuatku tersenyum puas.

“Kamu nggambar apa?” tanya Davin. Rupanya ia tidak tahu dengan apa yang aku gambar baru saja. Maklum, dia sedang fokus menyetir.

“Smile.”

“Hah? Smile?” Davin terheran-heran.

Aku mengangguk pasti.

“Untuk apa?”

“Agar kamu selalu tersenyum...” jawabku.

“Hanya itu saja?” tanyanya lagi.

Agar kamu ingat bahwa aku pernah mengukir sebuah cinta untukmu ketika kamu sedang berada di bumi. Setidaknya kamu akan selalu ingat bahwa akulah manusia yang berani menodai kahyanganmu.

“Agar kamu ingat bahwa aku pernah mengukir sebuah prasasti penyemangat untuk kamu ketika kamu sedang berada di dalam mobil. Setidaknya kamu akan selalu ingat bahwa akulah orang yang berani mencoret jok mobilmu,” jawabku sambil tertawa nyengir.

Kata-kata yang keluar dari mulutku tidak sama persis dengan yang dilontarkan hatiku. Pikiranku terlalu kuat menguasai hatiku. Bukan, bukan. Tetapi mental tempeku yang terlalu kuat menguasai hatiku.

Davin hanya membulatkan mulutnya.

Heran, Davin tidak marah. Mobil semahal ini, apabila dicoret-coret seperti yang aku lakukan, pasti pemiliknya langsung marah. Tapi entah kenapa Davin tidak marah, mungkin Davin terlalu sabar kali ya?

“Kenapa di jok?” tanya Davin lagi.

“Daripada aku menggambarnya di pipi kamu? Mana bisa konsentrasi kamu...” celetukku.

Davin tergelak, tertawa terbahak-bahak. Pasti dia membayangkan apabila emoticon yang aku buat mendarat dengan manis di pipinya dan membuatnya menjadi lucu, mungkin juga terkesan aneh. Ah, tunggu saja waktunya, jika bertemu lagi aku akan meninggalkan jejak di kedua pipinya.
***

Sebuah mobil berhenti persis di depan gerbang rumahku. Aku segera turun dari mobil. Davin juga turut serta turun dari mobilnya.

“Oo.. jadi ini rumahmu?”

Aku mengangguk.

Bisa jadi rumahmu kan? Suatu saat nanti, jika cinta kita menyatu.

“Saya sering lewat sini, tapi saya tidak tahu kalau ini rumah kamu,” sahutnya lagi sambil memerhatikan rumahku.

“Gimana nggak sering lewat sini, jalan di rumahku kan jalan pertama yang harus dilewati ketika masuk kompleks...” celetukku.

“Hehe, iya juga ya...” Davin tertawa nyengir.

“Ya sudah, aku masuk rumah dulu ya. Terima kasih banyak karena kamu telah bersedia mengantarkanku pulang. Maaf jika aku sangat merepotkanmu,” ucapku.

“Nggak merepotkan kok. Justru saya senang karena kamu telah menemani saya makan malam dan setidaknya malam ini saya merasa bahwa saya sedikit lebih baik dan mungkin sedikit lebih bahagia,” jawabnya lantas tersenyum.

Aku membalas senyumannya. Hatiku berdesir mendengar pujian yang disampaikannya secara tersirat.

Lalu Davin bergegas masuk ke dalam mobil. Kemudian ia berlalu kencang dengan mobilnya. Asap mobilnya tidak terlalu kentara. Maklum, mobil mahal. Lagipula ini juga malam, asap kendaraan melebur dengan gelapnya malam.

Aku melihat arlojiku. Jarum jam menunjukkan pukul 21.15
***

Malam begitu pekat, temaram bulan hanya menyibakkan seberkas cahaya
Sang bulan masih belum menemui persimpangannya
Karena ia tidak akan mendapati persimpangan, melainkan peraduan
Aku pun menunggu persimpangan itu ada
Dan peraduan telah menantiku di singgasananya
Wahai Bulan, tidakkah kau pernah berharap ada busur panah menyertaimu?
Yang datang dengan menggenggam secercah harapan
Harapan yang mungkin akan membusuk untuk orang yang mati
Harapan yang tak terwujudkan bagi mereka yang berhenti berjalan
Harapan yang hanya menjadi buaian belaka bagi para pembual kehidupan
Lalu, adakah harapan bagi mereka-mereka yang berpunggungkan sayap putih?
Yang memohon belas kasihan pada si berduit
Yang mengais-ngais seujung rezeki di pegunungan sampah
Yang telah melupakan dan menguapkan seluruh harapannya
Wahai Bulan, akankah kau mendengarku?
Aku pikir aku salah
Kau bukan Tuhan wahai Bulan...

Aku menutup diaryku. Entahlah aku berbicara apa malam ini. Entah mengapa tiba-tiba aku memikirkan mereka-mereka yang... ah, sudahlah, lupakan. Tak perlulah aku membual. Yang mereka butuhkan adalah doa dan uluran tangan, bukan omong kosong seperti puisi yang aku buat malam ini.
***

Pagi belum pagi
Aku masih menunggu pagi 
Entah kapan malam berhenti
Ingin lagi kutemui dirinya esok pagi
Pagi masih belum pagi
Coretan tangan hanyalah luka pedih
Tersayat di hati menyisakan perih
Perih ini bukan perih
Perih ini ternyata rindu
Rindu untuk...?

Tiba-tiba aku menghentikan jari tangan kananku. Aku blackstuck. Pikiranku terhenti. Aku tidak mendapatkan emosi lagi di puisi ini. Aku ingin emosi yang kuat. Jiwaku tertantang untuk menemukan sepenggal kata lagi guna melengkapi puisi keduaku malam ini.

Beri aku emosi dan energi. Beri aku ego lalu ide. Beri aku nafas dan jiwanya. Beri aku irama. Beri aku eksplorasi serta  kebebasan. Beri aku keyakinan. Beri aku sentuhan. Beri aku kesempurnaan.

Dan berilah aku rasa...

Rasa merindu... untuknya yang mungkin tengah kurindukan.

***

Cinta adalah perasaan yang tak terdefinisi kepada orang yang tak terduga
- Widdy Mawadda - 

Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

Posting Komentar