Sebuah Tiket Dinner - Baleriano Chapter 7

2 komentar
Konten [Tampil]
naskah-novel-baleriano

Davin mengantarkanku kembali ke rumah. Aku pulang dengan perasaan yang campur aduk. Kesal karena mendadak dipromosikan di keluarga orang yang baru dikenal. Senang karena ternyata mereka ramah-ramah. Aduuuuh, pusing rasanya. Bener-bener campur aduk!

“Vin,” panggilku pada Davin.

“Ya?”

“Kamu kok nggak bilang sih kalo kamu mau memperkenalkanku kepada keluarga besar kamu?”

“Jangan salah paham dulu. Bukan begitu maksud saya. Begini ceritanya, ide memperkenalkan kamu kepada keluarga saya kan baru tercetus saat itu. Saya merasa tidak enak jika kamu mampir ke rumah, lalu ada keluarga besar saya tapi saya malah tidak memperkenalkan kamu kepada keluarga saya. Rasanya nggak etis banget bagi saya. Saya kan juga tahu tata krama menerima tamu, bahwa minimal beberapa orang yang ada di rumah mengetahui tamu yang datang ke rumah. Tapi saya heran, kamu kok bisa bercengkerama sangat akrab dengan keluarga saya ya? Memangnya apa saja yang sudah Anya perbuat? Wuah, Anya memang adek unyu yang paling top banget,” seru Davin tanpa henti.

Ah, Davin malah tidak merasa bahwa aku kesal dengannya karena tingkah lakunya yang mendadak mempromosikanku di hadapan keluarga besarnya.

Ah, si Anya juga. Aku kan bukan pacarnya Davin. Tapi malah memperkenalkanku sebagai pacarnya Davin. Mendadak suasana di ruang keluarga tadi menjadi riuh ramai saat mengetahui bahwa aku adalah pacar Davin.

Heran, sebegitu senangnya ya mereka ketika Davin sudah punya pacar?

Tapi untungnya aku paham dengan ilmu komunikasi dan tata krama untuk berbicara di hadapan khalayak umum. Apalagi keluarga Davin adalah keluarga berada yang tidak sembarangan orang bisa menerobos ke wilayah kekerabatannya.

A little less conversation ~
A little more action please ~
All this aggravitation ain’t satisfactioning me ~
A little more bite and a little less bark ~
A little less fight and a litle more spark ~
Close your mouth and open up your heart ~
And baby satisfy me ~
Satisfy me baby ~

Lagu Elvis Presley vs JXL yang berjudul A Little Less Conversation menggaung di mobil Davin. Semakin menyemarakkan pikiranku yang ruwet karena kejadian beberapa menit yang lalu.

Aku pikir-pikir, kayaknya setiap kali aku berada di mobilnya Davin, selalu ada lagu yang diputar oleh Davin. Lagu apapun itu. Dari si Elvis Presley sampai Nirvana. Dari luar negeri sampai dalam negeri seperti Caffeine. Selera musiknya Davin apa ya? Kok rasa-rasanya aku masih belum mengetahui genre musiknya si Davin. Mau nanya, sungkan banget, nanti dikira kepo alias sok-sok pengen tahu. Nggak nanya, tapi orang ini bikin penasaran. Ah, sudahlah, makin pusing kalo mikirin kelakuannya Davin yang sulit ditebak.

Fiuh... hari ini sungguh membuatku lelah. Aku jadi malas untuk mengunjungi butikku meski hanya untuk sekedar menengok.

“Oh ya, saya punya sesuatu nih buat kamu, saya harap kamu mau,” kata Davin tiba-tiba memecah pikiranku yang sangat penat.

“Apa?” tanyaku.

Davin merogoh laci mobilnya sambil menyetir. Dia mencari-cari sesuatu. Dan hebatnya, dia tetap bisa konsentrasi menyetir mobil dengan tangan kiri yang sedang sibuk mencari barang yang ia cari.

Tak berapa lama kemudian, Davin mengeluarkan dua lembar kertas dengan ukuran sekitar 20 cm x 10 cm.

“Ini buat kamu. Kamu ambil satu dan satunya buat saya,” kata Davin sambil menyerahkan selembar kertas untukku.

Aku segera mengambilnya. Aku baca, rupanya sebuah tiket. Terdapat tulisan besar yang tertera di tiket tersebut, yaitu “Couple Dinner Free For Four Couple in Faraday Cafe”.

“Oo... tiket dinner?”

Davin mengangguk.

“Tapi kan kita nggak couple?” selorohku yang merasa tidak pantas mendapatkan tiket couple dinner karena aku memang sedang tidak memiliki pasangan dan Davin juga bukan pasanganku.

“Anggap saja kita pasangan.”

“Tapi kenapa aku yang diajak?” cecarku.

“Karena kamu sedang berada di mobil saya. Dan kebetulan saya teringat tentang tiket tersebut. Daripada mubadzir, lebih baik saya beri ke kamu. Lagipula saya sangat ingin datang ke Faraday Cafe. Sudah lama saya tidak ke sana. Kamu mau kan menemani saya?” pinta Davin.

Aku berpikir sejenak. Lalu aku melihat tiket yang aku pegang. Acaranya malam Minggu jam 7 malam. Aku mencoba mengingat-ingat jadwalku Sabtu malam. Setelah aku ingat-ingat, ternyata aku tidak ada acara ketika malam Minggu.

Ingin rasanya aku menolak tawaran dinner dari Davin. Tapi, manusia yang baik tidak boleh menolak rezeki kan?
***

Kelas balet sore ini diisi oleh Miss Wenda. Umurnya lebih tua dua tahun daripada aku. Dia pernah mengikuti kursus balet ketika sedang menjadi mahasiswi di Jerman. Lambat laun, dia sangat mencintai dunia balerina dan akhirnya dia memutuskan untuk berhenti kuliah kemudian mengejar obsesinya menjadi seorang balerina profesional. Hebatnya, status mahasiswi yang ia lepas membuatnya semakin terpacu untuk menjadi balerina profesional. Dan ternyata usahanya tidak sia-sia. Dia pun menjadi Ausgezeichnet Ballerina di Jerman beberapa tahun lalu sebagai balerina terbaik dengan penampilan yang nyaris sempurna.

Lalu ia kembali ke Indonesia dengan membawa sebuah prestasi. Memang hanya satu prestasi, tapi dia sudah cukup bangga dengan usahanya. Dan untungnya dia mau kembali ke Indonesia. Biasanya orang Indonesia yang sukses di luar negeri tidak mau kembali ke tanah air.

Miss Wenda ini cantik sekali. Pernah suatu hari dia bercerita mengenai kisah cintanya. Seingatku, nama kekasihnya adalah Rayen. Setelah mengikuti alur cerita Miss Wenda tentang kisah kasihnya, ternyata Rayen adalah salah satu juri di perlombaan balerina yang ia juarai di Jerman. Wuah, seru ya kisah cintanya. Terkadang aku berpikir, bagaimana ya kisah cintaku nanti?

“Kak Maura kece,” sapa Anya mengejutkanku, yang tiba-tiba memanggil namaku dengan menambah embel-embel kece.

“Kok kamu manggil aku kece juga?” protesku.

Kece kan panggilan sayangnya Anya kepada Davin. Kenapa aku ikutan dipanggil kece?

“Kan Kak Maura kece pacarnya Kak Davin kece, jadi kudu dipanggil kece juga,” jawab Anya dengan entengnya.

“Anya sayang, aku nggak pacaran sama Davin... “ jelasku.

“Nggak pacaran tapi ehem-eheman ya kak?” seloroh Anya.

“Kok ehem-eheman? Apaaaa juga ehem-eheman itu?!”

“Ehem-eheman itu kikuk-kikukan,” seloroh Anya lagi.

“Uh... kamu tuh, Nya... Ada-ada saja,” sahutku yang semakin gemas dengan Anya. Ingin rasanya meremas wajah Anya yang tanpa dosa.

“Kak Maura kece, semalam Kak Davin kece nanyain Kak Maura kece mulu loooooh?” kata Anya antusias.

“Oh ya?!” sahutku dengan nada tinggi yang cukup terdengar semangat.

“Iya. Kak Davin kece banyak nanya tentang Kak Maura kece. Tapi tahu nggak kak, ujung-ujungnya pertanyaan Kak Davin kece yang terakhir dan yang paling nyebelin adalah ketika Kak Davin kece nanyain namanya Kak Maura kece. Ternyata selama ini Kak Davin kece nggak tahu nama Kak Maura kece,” kata Anya dengan antusias.

Aku melongo. Jujur, aku nggondok mendengar cerita Anya bahwa ternyata Davin baru tahu namaku semalam dan kesimpulannya selama ini dia tidak tahu namaku sama sekali. Ingin rasanya aku meremas wajah Davin yang tanpa dosa karena tidak tahu namaku namun dengan asyiknya mengajakku kemanapun ia mau.

“Jadi, selama aku bercerita panjang lebar kali tinggi, Kak Davin kece tidak tahu nama Kak Maura kece yang sedang menjadi objek pembicaraan ter-wow getoh tadi malam,” lanjut Anya dengan gaya khas lebaynya anak SMP.

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar cerita Anya yang menceritakan Davin. Si Davin juga begitu, membuatku geleng-geleng kepala dua kali lipat karena tingkah konyolnya.

“Ayo bersiap, kelas akan dimulai,” kata Miss Wenda yang tiba-tiba datang meriuhkan suasana kelas balet.

Aku dan teman-teman pun bersiap tak terkecuali Anya. Aku dan Anya pun segera mengakhiri pembicaraan kami. Kemudian seluruh murid les Balenesia yang hadir pada latihan rutin kelas balet bersiap mengambil tempat dengan posisi berdiri membentuk 2 sof. Miss Wenda berdiri di hadapan kami.

“Baiklah, sebelum kita memulai pelajaran hari ini, mari kita menundukkan kepala sejenak untuk berdoa sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Berdoa, mulai,” pimpin Miss Wenda.

Sesi doa berjalan dengan hikmat.

“Cukup. Sore ini saya membawa kabar gembira untuk kalian. Akan ada perlombaan balet se-Jakarta dua bulan lagi,” kata Miss Wenda.

Sorak sorai terdengar ramai meriuhkan ruangan latih balet. Teman-teman sangat senang dengan adanya perlombaan balet karena masing-masing di antara mereka akan menunjukkan talenta terbaik mereka. Karena pemenang balet biasanya akan disegani oleh teman-teman balerina lainnya.

Namun sayang, aku tidak ikut bersorak sorai seperti teman-temanku yang lain. Karena aku tahu, dalam sesi pendaftaran aku pasti tidak akan diterima. Satu alasan yang selalu membuatku muak, rambutku pendek dan tidak bisa digelung.

Jadi, sejak pertama kali aku berlatih balet, aku tidak pernah ikut lomba balet. Tetapi sejujurnya aku tidak pernah kesal dengan peraturan tak tertulis tersebut, karena aku berlatih balet bukan untuk mengejar prestasi atau memamerkan talenta baletku, melainkan untuk menyalurkan kesenanganku menari balet.

Jadi aku tidak pernah ambil pusing ketika ada perlombaan balet.
***

Cinta adalah sebuah perasaan bahagia yang terjadi baik secara spontan maupun secara disengaja
– Abraham Yusuf Indrayana -

Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar