Puisi-Puisi Davin - Baleriano Chapter 11

Konten [Tampil]
naskah-novel-baleriano


15 September.

Aku melingkari sebuah tanggal pada kalender yang sengaja kuletakkan di atas meja. Tanggal tersebut adalah tanggal istimewa bagi Om Danang beserta calon istrinya. Ya, mereka berdua akan menikah pada tanggal cantik tersebut. Ngomong-ngomong tentang menikah, kapan ya aku menikah?

Tanggal tersebut masih sebulan lagi. Dan tentunya masih ada waktu sebulan lagi untuk berlatih balet bersama Anya. Kata Davin sih, latihannya mulai dilaksanakan sore ini. Tapi si Anya kemana ya, kok belum datang juga?

“Kak Maura....!!!”

Suara khas Anya mengagetkanku. Teriakannya yang melengking mampu membuatku terbangun dari lamunanku. Aku pun keluar dari ruang kerja dan menemui Anya yang tentu saja berada di lobby butikku.

Tampak Anya dengan rambut kuncir duanya yang datang bersama Davin. Ah, kenapa Davin juga datang? Kan aku malu kalo berlatih balet lalu dilihatin melulu sama si Davin...

Davin tersenyum padaku. Sedangkan Anya cengengesan sambil memamerkan gigi-giginya yang putih. Aku pun menghampiri mereka.



“Kok kamu juga datang? Kamu mau berlatih balet juga?” tanyaku sok polos pada Davin.

“Enggaklah. Masa’ saya menari balet sih?! Kurang macho lah...” elak Davin. Anya hanya terkekeh-kekeh mendengar kakaknya dikira ikutan bermain balet.

“Tapi banyak kok cowok yang menari balet...” ujarku.

“Enggak ah, saya nggak tertarik jika saya harus ikut menari balet. Saya lebih suka melihat orang menari balet,” ujarnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum, menerima penjelasan Davin yang logis.

“Saya cuma ngantarin Anya ke butikmu buat berlatih balet.”

“Oo..” aku membulatkan mulut. “Ayo duduk dulu,” kataku sambil mempersilahkan Davin dan Anya untuk duduk di sofa lobby butikku.

Davin dan Anya pun duduk berdampingan di sofa yang sengaja aku sediakan untuk para pelangganku yang memesan desain sepatu padaku.

“Kak, kita mau menari apa?” tanya Maura antusias.

“Loh, bukannya kita mau menari balet ya?” tanyaku balik dengan nada kebingungan.

“Bukan itu maksudnya. Kita mau menari balet kayak gimana?” ralatnya lagi.

“Oo... Untuk sementara, kita pemanasan dulu aja. Mempelajari tarian balet yang pernah diajarkan di Balenesia. Bagaimana?” tawarku.

“Boleh,” sahut Anya antusias.

“Oh ya, konsep musiknya gimana?” tanyaku pada Davin dan Anya.

“Begini, resepsi pernikahan Papa kan dikonsep seperti garden party sambil diiringi sebuah pertunjukan musik. Papa sih minta yang nggak mengganggu para tamu undangan. Jadi, kita menggunakan piano untuk mengiringi balerina yang menari,” terang Davin panjang lebar.

Aku mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Lalu pianisnya mana?” tanyaku balik.

Davin dan Anya saling berpandangan, lalu saling tersenyum.

“Begini Kak, katanya sih pianisnya lagi cuti,” jawab Anya.

“Hah?! Cuti?!” aku terkejut bukan kepalang. Baru kali ini aku tahu ada pianis yang cuti.

“Iya.” Anya mengangguk cepat.

“Oo... pianisnya hamil?” tanyaku polos.

“E-enggak, Ra. Pianisnya cowok kok,” sahut Davin yang membetulkan dugaanku yang salah.

“Terus, kemana pianisnya? Kita kan nggak bisa berlatih tanpa pianis?” tanyaku dengan penuh keraguan.

“Bisa kok. Untuk sementara, kalian berdua berlatih pakai kaset dulu saja. Bagaimana?” tawar Davin.

Aku melirik Anya.

“Setuju!” sahut Anya antusias.

Lalu Davin dan Anya pun melirik padaku dengan isyarat menanyakan persetujuanku.

“Oke. Kapan kita mulai?”

“Besok,” sahut Davin.

“Loh? Kok besok?” tanyaku keheranan.

“Iya Kak. Kan udah sore. Kasihan Kak Maura, nanti Kak Maura pulangnya malam...” jawab Anya dengan iba.

“Meskipun aku pulangnya malam, tapi kan ini tetap butikku,” elakku.

“Tapi bahaya kalo di jalan, Ra...” sahut Davin.

“Kan aku naik mobil...”

“Tapi tetap bahaya, Ra... Kamu mau sekalian saya antarkan pulang juga?” tawar Davin.

“Enggak deh. Kalau aku ikut naik mobilmu, terus gimana dengan nasib mobilku? Memangnya mobilku bisa dilipat dan ditaruh di bagasi mobilmu?” cecarku.

“Oh, iya juga ya.”
***

Beberapa hari ini, aku memiliki aktivitas baru. Yaitu berlatih balet bersama Anya. Kami berlatih setiap sore hari di butikku. Davin juga sering menemani kami berlatih. Ia yang mengatur musik apa yang akan kami tarikan, tentu saja dengan nuansa balet.

Kini aku sedang mengenakan dress balet berwarna biru, sedangkan Anya mengenakan dress balet berwarna merah muda. Davin hanya duduk bersandar pada dinding yang tak jauh dari kami. Kami berlatih di ruang kerjaku. Memang sih, ruang kerja yang kami gunakan untuk berlatih balet tidak cukup luas atau layak untuk dijadikan tempat latihan, tapi setidaknya ruangan kerjaku cukup besar dengan ukuran 5m x 5m yang dilengkapi cermin besar pada sebuah dinding yang berseberangan dengan pintu.

Kami menari tarian dasar yang biasa kami lakukan saat berlatih balet di Balenesia. Dengan musik pengiring oleh komponis Christopher Gluck yang diputar melalui kaset DVD, kami berdua melakukan teknik-teknik dasar berupa pointe work. Aku dan Anya menarikan tarian balet dengan sungguh-sungguh seakan-akan kami adalah Marie Taglioni dan Danny Elssler, balerina favorit kami berdua.

Davin hanya melihat kami berdua dari sisi belakang kami. Yang kutahu dari ekspresi wajahnya, dia tampak terpukau dengan latihan kami. Mungkin ini pertama kalinya dia melihat tarian khas Italia tersebut.

Hampir 50 menit kami berlatih, akhirnya aku pun memutuskan untuk break. Aku mengambil 3 gelas air putih yang aku letakkan tak jauh dari meja kerjaku. Aku memberikannya kepada Anya dan Davin. Dan satu gelas lainnya untukku.

“Kok saya dikasih juga?” tanya Davin keheranan.

Kami berdua tak menjawab karena kami sedang asyik meneguk.

Selesai menghabiskan separuh gelas, aku pun menjawab pertanyaan Davin yang diliputi rasa heran, “Minum aja. Kamu pasti capek juga.”

“Oke, terima kasih ya, Ra,” jawab Davin lalu meneguk segelas air putih.

Aku pun menyandarkan diri untuk melepas penat pada kaca besar yang ada di sisi utara ruang kerjaku.

“Kak Davin kece, udah malam, pulang yuk,” pinta Anya pada kakaknya.

Davin melihat arloji yang ada di pergelangan tangan kirinya. Sedangkan aku melihat jam dinding yang menempel di dinding sisi depan kami. Masih jam 7 sore bagi aku dan Davin. Tapi sudah jam 7 malam bagi Anya yang masih belum dewasa.

“Ra, saya sama Anya pulang dulu ya. Kasihan Anya, besok harus sekolah dan butuh istirahat,” pamit Davin padaku.

Aku tersenyum, “Iya, belajar yang rajin ya, Nya...” titahku pada Anya.

Anya mengangguk dengan penuh semangat.

Kami berdua pun bergegas meninggalkan ruangan kerjaku. Kami berjalan keluar butik. Dan ketika sampai di depan butik, “Kak Maura, aku ke toilet dulu ya, mau pipis,” kata Anya dengan wajah memelas.

“Iya, silahkan. Lewat pintu samping ruang kerja. Ada tulisannya kok,” jawabku.

Anya buru-buru ngeloyor pergi ke toilet setelah kuberitahu mengenai lokasi toilet. Davin hanya tertawa kecil menghadapi tingkah laku adiknya yang mungkin baginya sungguh merepotkan empunya toilet.

Aku berdiam diri bersama Davin di depan butikku. Jalanan depan butik masih ramai. Tapi kami merasakan keheningan di antara kami berdua. Tak ada yang mau berkata terlebih dahulu, sama-sama bagaikan patung. Seperti malam itu, malam pertama yang sungguh indah bagiku dan mungkin indah juga baginya. Mungkin.

“Ra,” panggil Davin.

“Ya?” aku menoleh. Davin masih menatap langit.

“Malam memang belum datang. Tapi tampaknya aku telah melihat dengan jelas. Ada bintang yang menyibakkan cahayanya tanpa ragu. Bintang-bintang itu masih bersembunyi. Herannya, mereka bersembunyi di balik kedua bola matamu,” kata Davin tanpa henti kemudian menatap mataku.

Aku terkejut. Terkejut akan puisi Davin yang terlontar tanpa sengaja dan sungguh indah. Terkejut akan kelihaian Davin merangkai kata bagaikan pujangga. Terkejut akan Davin yang tiba-tiba menatap mataku, sungguh dalam, sulit untuk melepaskan tarikan tatap matanya. Dan terkejut akan...

“Puisinya bagus banget, ya Kak..”

Suara Anya yang seperti celotehan anak kecil membangunkanku dari tatapan mata Davin. Ekspresi Davin juga berubah, sama denganku. Salting.

Dengan masih mengendalikan keadaan, aku bilang pada Anya, “Ini bukan puisi, Nya. Ini mah nggombal...”

“Tapi aku suka banget Kak Maura kece, ngena banget,” kata Anya dengan mata yang berbinar-binar. Aku terpukau melihat bola mata Anya yang sungguh indah. Dan aku berkesimpulan, mungkinkah bintang-bintang itu pindah dan bersembunyi di bola mata Anya? Kok mata Anya indah banget ya?

Ah, terkutuklah aku yang mengalihkan pemikiran kepada Anya. Seharusnya aku sadar, bahwa bintang yang dimaksud Davin ada di mataku, tetapi mengapa aku mengelak? Apakah karena aku tak sanggup menerima keadaan bahwa dia mengatakan tentang bintangnya untukku? Apakah karena aku belum siap untuk... untuk menerima bahwa ia juga menerimaku?
***

Cinta itu sulit diuraikan seperti seberapa lama aku memikirkannya tadi
- Abdi Nur Utomo -

Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

1 komentar

Posting Komentar