Berlari Denganmu - Baleriano Chapter 16

Konten [Tampil]
naskah-novel-baleriano


Pagi ini sangat cerah. Matahari bersinar cukup terik. Tidak perlu takut hitam karena terkena sengatan matahari, toh jarum jam masih belum menunjukkan pukul 9, jadi sinar matahari sedang mengobral vitamin D bagi mereka-mereka yang mau melakukan aktivitas di luar rumah, tentu saja di bawah terik matahari.

Aktivitas yang paling digemari ketika hari Minggu tiba adalah jogging. Tak sedikit orang yang melakukan aktivitas sederhana ini. Sebagian besar dari mereka biasanya jogging di taman, kompleks perumahan atau bahkan di jalan raya. Aktivitas jogging bisa dilakukan di berbagai tempat, selagi ada celah untuk berlari kecil.



Sudah 30 menit aku berlari kecil. Jarak dari rumah ke taman cukup jauh. Aku pun telah sampai di taman.

“Vin, istirahat yuk, capek nih,” pintaku pada Davin.

Aku melakukan jogging tidak sendirian, melainkan ditemani Davin. Davin juga sama denganku, sama-sama berkeringat, bahkan keringat Davin mengucur lebih deras daripada aku.

Davin mengangguk, ia setuju. Rupanya ia benar-benar capek. Meski Davin lebih banyak berkeringat daripada aku, tetapi yang bunyi nafasnya paling keras adalah aku. Aku ngos-ngosan sejak lima menit yang lalu. Maklum, jarang jogging.

“Ayo kita cari tempat duduk, Ra,” kata Davin sambil melihat sekeliling.

Aku tidak turut serta mencari tempat duduk, aku benar-benar lelah. Walhasil, aku pun jatuh terduduk di bawah pohon dan menyandarkan diri pada batang pohon trambessi.

“Ra, kamu kenapa?” tanya Davin yang kaget melihatku tiba-tiba duduk di bawah pohon.

“Capek, Vin... Kita duduk di sini aja yuk...” pintaku yang masih ngos-ngosan.

“Saya cari minum dulu, ya?” tawar Davin.

Tanpa mendengarkan persetujuanku, Davin pun bergegas meninggalkanku untuk mencari pedagang minuman. Sedangkan aku duduk bersandar di pohon trambessi yang kira-kira berumur lebih dari satu abad. Aku mulai mengatur nafasku yang sedari tadi tidak teratur karena terlalu lelah berolahraga.

Tak berapa lama kemudian, Davin datang sambil membawa dua botol air mineral 600 ml. Ia memberikan satu untukku. Kemudian kubuka dan kuminum. Davin juga begitu.

Sangat lega ketika air telah masuk ke dalam tenggorokan, bagaikan menemukan oase di gurun pasir. Badan terasa lebih baik. Air mineral yang kuhabiskan hampir setengah botol mampu mengembalikan ion-ion tubuhku.

Davin yang duduk di sampingku sambil bersandar pada botong pohon, malah menghabiskan air mineral 600 ml tanpa menyisakan setetespun. Begitu kuatnya lambung seorang pria ya, dan tentu saja hal ini yang membedakan antara wanita dan pria, toh semua memang sudah ada kodratnya masing-masing.

“Ra,” panggil Davin tiba-tiba.

Aku menoleh.

“Saya mau cerita nih tentang sebuah persitiwa lucu di acara pernikahannya Papa. Ada hal yang membuat saya geli,” kata Davin antusias.

“Oh ya? Apa? Cerita dong?” pintaku.

“Banyak undangan yang bilang ke Papa kalo balerinanya lucu. Biasanya kan seorang balerina itu tampil dengan sangat memukau dan didukung dengan penampilan yang elegan. Nah, sebagian besar dari mereka menaruh kesan pada kamu dan Anya, karena balerina yang tampil hanya berdandan natural, bukan elegan seperti balerina pada umumnya. Saat mereka melihat Anya, ada yang nyeletuk gini, wuah yang dikuncir kuda itu kayak anak TK yang nggak pernah naik kelas ya? Maksudnya sih mengejek Anya, tapi untungnya hanya celetukan.”

Aku tertawa mendengar cerita Davin mengenai celetukan terhadap Anya. Untungnya juga, Anya nggak tahu kalau ada yang berceletuk tentangnya seperti itu.

“Tapi ada lagi nih celetukan yang paling seru. Ketika melihat kamu yang menari balet dengan model rambutmu yang pendek sebahu, ada yang bilang gini, gara-gara nggak pernah tampil di tv, akhirnya Dora nari balet deh,” cerita Davin dengan wajah datar menahan tawa.

Aku yang merasa disamakan dengan Dora, tertawa terbahak-bahak mendengar celetukan yang diceritakan Davin. Aku tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perut. Aku tak habis pikir, adaaaa saja komentar orang-orang tentangku.

“Udah dong, Ra. Kamu ketawanya jangan berlebihan, nanti disangka orang gila, baru tau rasa kamu,” tegur Davin yang sedari tadi menahan tawa.

Aku pun mencoba berhenti tertawa menuruti saran Davin agar tidak dicap sebagai orang gila.

“Oh ya, Vin. By the way, aku salut loh sama kamu. Kamu jago banget main pianonya,” pujiku setelah mengakhiri tawaku.

“Terima kasih banyak atas sanjungannya, wahai Putri Maura yang cantik jelita...” sahut Davin sambil melebarkan senyumnya, memamerkan gigi-giginya.

“Senyumnya jangan lebar-lebar kali. Ntar kering tuh gigi,” celetukku.

Davin pun mengerutkan senyumnya, yang membuatku tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi Davin yang sangat terpaksa untuk mengecilkan senyumnya. Aku tak kuat menahan tawa bila Davin bertingkah konyol.

“Vin,” panggilku sambil mencoba menahan tawa, “Sejak kapan kamu bisa main piano?”

“Begini ceritanya... Dulu orang tua saya memberikan hadiah ulang tahun kepada saya berupa piano, kemudian Papa mengikutkan saya les privat piano sampai saya kelas 1 SMA. Setelah sampai pada level 16, saya mendapatkan gelar diploma lewat ujian di Belanda. Nah, karena saya jenuh mendalami piano sejak SD sampai awal SMA, akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari era piano klasik,” kata Davin menjelaskan panjang lebar.

“Terus?” tanyaku yang sudah bisa mengikuti alur cerita Davin.

“Kemudian saya bergabung dengan teman-teman saya untuk membuat band. Nah, waktu itu saya nge-band bersama sahabat saya, yaitu Radit.”

“Radit? Tunangannya Nana?” selidikku.

“Iya. Radit itu sahabat baik saya. Sekarang dia bekerja sebagai manajer sebuah band. Entah sudah berapa band yang dia kendalikan. Dia hebat banget dalam mengurus band. Dia juga yang mengelola resto Nada-Nada Kepiting yang pernah kita datangi,” lanjut Davin.

“Oo...”

“Nah, saya dan Radit ngebandnya nggak berdua, tapi dengan dua teman lainnya, yaitu Wenda dan Aryo.”

“Wenda? Miss Wenda?” selidikku lagi.

Davin mengangguk mantap.

“Wenda yang menjadi vokalis. Radit sebagai gitaris, Aryo sebagai drummer dan saya...”

“Sebagai keyboardis kan?” tebakku.

“Benar. Nah, eksistensi band yang kami beri nama Grand Angelic mulai pudar ketika kami berpencar mencari universitas masing-masing. Saya meneruskan kuliah di Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Komunikasi. Radit kuliah manajemen di universitas yang sama dengan saya. Aryo kembali ke Bandung mengambil Fakultas Ilmu Psikolog di Universitas Padjajaran, entah apa yang membuat Aryo tiba-tiba mengalihkan diri dari drummer menjadi psikiater. Sedangkan Wenda yang paling banyak duit, kuliah di luar negeri dan ternyata sekarang dia menjadi pelatih balerina,” terang Davin yang menjelaskan tentang profil sekilas teman-teman bandnya.

Aku tertarik dengan cerita Davin tentang Miss Wenda dan Radit. Lalu aku teringat mengenai dinner rame-rame di Faraday Cafe.

“Oo... Pantas saja kamu juga mengundang Miss Wenda dan Radit ke acara dinner di Faraday Cafe waktu itu...” tebakku menarik kesimpulan sementara.

“Kalau dinner di Faraday Cafe beda lagi ceritanya,” ralat Davin yang sepertinya akan bercerita panjang lebar padaku. “Yang dapat tiket dinner itu si Wenda. Berhubung dia lost contact dengan teman-temannya yang di Indonesia dan hanya punya nomor ponselnya Radit, akhirnya dia menghubungi Radit dan memberikan keluwesan pada Radit untuk mengajak siapa saja untuk dinner di Faraday Cafe. Kemudian Radit mengajak saya. Saya sih setuju saja. Lalu tiba-tiba terbersit di benak saya dan Radit untuk reuni Grand Angelic, tapi kami semua lost contact dengan Aryo. Akhirnya Radit memutuskan untuk memberikan sepasang tiket yang sisa kepada saya. Saya disuruh mencari siapapun untuk ikut serta ke dinner. Nah, ketika saya dirundung galau mengenai tiket dinner tersebut, kebetulan saya sedang ngopi bareng Nara. Ya sudah, kenapa saya nggak ngajak si Nara saja. Akhirnya, dinner di Faraday Cafe berlangsung mulus tanpa halangan dan meninggalkan kesan seru ketika pulang. Bahkan, saya pribadi ingin sekali mengulanginya,” jelas Davin yang bercerita panjang lebar.

Aku mengangguk-angguk memahami cerita Davin tentang di balik layar acara dinner seru di Faraday Cafe. Ternyata serumit itu ya mencari orang untuk memberikan tiket dinner gratis.

“Oh ya, by the way...” aku merasa ada yang belum dijelaskan oleh Davin. “Kamu kenal Kak Nara dari mana?” tanyaku.

“Nara kan kakaknya Kara, ya kan?”

Mendengar kata Kara, saraf otakku berkontraksi hebat. Aku sangat membenci nama ini. Sungguh-sungguh membencinya. Tapi, bagaimanapun juga, aku tidak boleh terlihat sangat membenci Kara di depan orang lain kecuali dengan orang yang memang pernah mengetahui masa silamku.

“Iya. Kara kakakku juga...” terangku berusaha legowo.

“Oo... jadi kamu adiknya Nara sama Kara. Nara nggak pernah cerita kalau dia punya adik yang bernama Maura. Kara juga begitu, nggak pernah cerita tentang kamu” sahut Davin antusias. Sepertinya ia telah menarik kesimpulan mengenai saudara-saudaraku.

Aku mengangguk lemah, tak bergairah mendengar nama Kara.

Tapi aku penasaran, bagaimana bisa Davin mengenal Kara? Memangnya mereka bertemu dimana? Apa mereka teman lama atau...?

“Kok kamu kenal Kara?”
***

Cinta itu melengkapi dan memberi koreksi
- Ika Meidiana -

Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

Posting Komentar