Mendengarkanmu - Baleriano Chapter 27

Konten [Tampil]
naskah-novel-baleriano


Gazebo menjadi tempat istirahat kami berdua. Kami lelah dalam perjalanan kami. Kami ingin bertukar cerita, seperti sahabat yang sering bertemu, seperti teman lama yang tak pernah bertemu dan seperti kekasih yang sempat menghilang.

“Saya jatuh miskin, Ra...” kata Davin membuka pembicaraan.

Bukan jatuh hati, melainkan jatuh miskin. Ah, semakin tidak mengenakkan.

Davin menghela nafas panjang, kemudian mulai bercerita. “Tante Nanda yang menjadi Mama baru saya adalah biang keladi dari keterpurukan ini. Dia mengambil alih harta kekayaan Papa untuk melunasi hutang keluarganya. Dan ternyata hutang Tante Nanda masih belum lunas. Entah berapa milyar hutangnya yang membuat saya dan Papa bekerja lebih ekstra. Papa rela menjual bisnis rotannya dan beberapa aset berharga miliknya. Saya pun rela menjual mobil saya untuk melunasi hutangnya Tante Nanda.

Tapi sayang, setelah mengeluarkan banyak uang untuk melunasi hutang yang dibuat Tante Nanda, ternyata masih belum cukup. Akhirnya rumah terpaksa dijual dan mengharuskan kami pindah ke rumah susun. Saya dan Papa berusaha keras untuk membiayai sekolah Anya yang tinggal beberapa bulan lagi untuk keluar dari SMP kemudian meneruskan SMA.”

Aku menyimak cerita Davin dengan baik.

“Memangnya saudara-saudara kamu tidak membantu?”

“Mereka telah membantu kami, Ra. Tapi kami tidak ingin terus-terusan menjadi beban bagi mereka. Saya dan Papa sadar diri bahwa tidak seharusnya kami meminta belas kasihan mereka. Kami harus berusaha sendiri dengan menanggung segala resiko.”

“Lalu, Tante Nanda bagaimana? Tidak tinggal di rumah susun juga?”

“Tante Nanda masuk penjara karena telah melakukan penipuan bermodalkan produk kecantikan yang ternyata merusak kulit banyak orang. Yaa.. biarlah Tante Nanda mendekam di penjara supaya tidak mengusik keluarga Papa lagi.”

“Memangnya Om Danang nggak menceraikan Tante Nanda?”

“Reaksi Papa sangat lambat, Ra. Papa menceraikan Tante Nanda ketika rumah sudah disegel.”

“Tapi mengapa kamu dan Om Danang yang harus melunasi hutangnya Tante Nanda?” cecarku.

“Karena semua hutang dialihkan kepada suaminya atas nama Danang Setiabudi, yaitu Papa saya,” kata Davin sambil menunduk.

Ingatanku kembali menuju masa-masa pernikahannya Om Danang dan Tante Nanda, karena pada masa itulah aku melihat Mama baru Davin dan Anya. Tante Nanda berparas cantik. Cantik sekali. Mirip boneka barbie. Ada kesamaan antara Tante Nanda dan boneka Barbie, yaitu sama-sama terbuat dari plastik. Ya, wajahnya hasil operasi plastik. Wajah palsu mudah ditebak kan?

“Kalau boleh tahu, memangnya apa yang membuat Om Danang bersedia menikahi Tante Nanda dengan segala hutang-hutangnya?” selidikku yang semakin penasaran dengan kisah rumah tangga orang.

“Ra... mana ada maling yang mau ngaku. Begitupun juga dengan Tante Nanda. Dia tidak bercerita tentang hutangnya. Dia hanya menampakkan semua hal manis di hadapan Papa, saya dan Anya. Tante Ria yang menjadi sahabat Tante Nanda dan turut mencomblangkan Papa dengannya, juga ikut kesal dengan perilaku Tante Nanda. Sebagai sahabat, Tante Ria merasa dibohongi. Saya masih ingat, ketika tamparan tangan kanan Tante Ria mendarat dengan sangat manis di pipi kiri Tante Nanda. Begitu sakit ketika persahabatan ternodai oleh belang busuk dari salah satu pihak.”

Aku menyeduh kembali teh hangatku. Sedangkan teh hangat milik Davin masih belum disentuh sekalipun, karena sebelumnya aku telah memberikan segelas air mineral ketika Davin menginjakkan kaki di rumahku.

“Lalu, bagaimana kamu sekarang? Apakah semua hutangnya telah lunas?”

“Belum, Ra. Tapi Papa telah membujuk pihak bank untuk memberi kami waktu selama 10 tahun guna melunasi hutang yang tinggal beberapa ratus juta. Saya dan Papa harus bekerja lebih ekstra, tetapi kami tak akan melupakan hak Anya. Pokoknya Anya juga harus sekolah!” kata Davin berapi-api.

“Tehnya segera diminum, Vin. Nanti keburu dingin,” titahku sebagai tuan rumah untuk menurunkan emosi Davin.

Davin pun mengambil teh hangat dan menyeduhnya. Aku melihat raut wajah Davin sangat kusut, berbeda dengan Davin yang dulu.

“Vin...”

“Ya?”

“Aku minta maaf,” ucapku sambil menunduk.

“Untuk masalah apa?”

“Aku yang marah-marah padamu kemudian membentakmu pada pertemuan kita yang terakhir kala itu.”

Davin hanya membulatkan mulut, “Oo...” Kemudian ia menyeduh lagi tehnya yang masih sisa separuh.

“Saya sudah memaafkanmu sejak dulu,” katanya kemudian.

“Aku kira kamu sama saja dengan Elang,” aku mulai bercerita.

“Dulu, ketika aku masih kuliah, aku berpacaran dengan Elang. Semua hal indah telah kita lalui. Sampai akhirnya aku mencium bau busuk dari Elang. Ternyata Elang berselingkuh dengan Kak Kara yang masih kakak kandungku. Betapa sakitnya aku ketika dikhianati oleh dua orang yang kucintai, yang kemudian menikamku dari belakang. Dan sejak itu pula aku enggan melihat wajah mereka lagi. Aku muak dengan mereka. Aku tidak pernah melihat Elang lagi, kalaupun dia hilang ditelan bumi, aku tak akan pernah mempedulikannya, dia telah membusuk di mataku.

Maka dari itu, ketika aku tahu bahwa kamu adalah mantan Kak Kara, aku berpikir tingkah lakumu pasti sama saja dengan Elang, makanya aku marah sekali padamu. Sedangkan, semenjak aku memarahi Kak Kara habis-habisan, Kak Kara pergi ke Amerika dengan pacar barunya yang seorang bule kaya beranak 2. Sampai sekarang, aku masih membenci keduanya. Kak Kara memang sering minta maaf padaku, tapi aku selalu mengabaikannya. Meskipun ia sampai nangis darah, aku tidak akan memaafkannya.”

“Maafkan saja...” sahut Davin.

Aku tertegun. “Tapi Vin, tidak semudah itu aku memaafkan Kak Kara. Rasa sakit hatiku masih belum sembuh Vin...” rengekku.

“Memangnya kehadiran saya masih belum bisa mengobati rasa sakit hati kamu?”
***

Cinta adalah saling mengerti
– Pupus Ardhi -

Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

Posting Komentar