Kehilanganmu (Lagi) - Baleriano Chapter 31

Konten [Tampil]
naskah-novel-baleriano

Matahari pagi memaksaku untuk terbangun dari tidurku. Aku pun membuka mata dan melemaskan badanku yang terasa sakit sekali karena tidak tidur pada tempatnya, melainkan tidur di pelataran Museum Fatahillah bersama....

“Loh?! Davin mana?!”

Aku terkejut karena Davin tidak ada di sisiku. Padahal aku yakin bahwa Davin bersamaku semalam. Aku ingat benar bahwa aku tertidur dan bersandar pada Davin. Tapi sekarang Davin dimana?

“Vin... Davin...” teriakku.

Tidak ada seorangpun di sekitarku. Hanya aku sendirian terduduk di depan museum Fatahillah.

“Vin... Davin... Kamu dimana?” teriakku lagi.

Aku berdiri dari tempat tidur alamku. Kemudian berjalan sambil berteriak mencari Davin. Aku berjalan mengitari museum, namun aku tidak menemukan sosok Davin. Aku bingung. Harus kemana lagi aku mencarinya?



Aku lelah. Aku pun duduk di bangku taman yang tak jauh dari Museum Fatahillah. Biar aku di sini saja, menunggu Davin, mungkin saja ia sedang mencari makanan, pikirku yang mencoba berpikiran positif.

Satu jam telah berlalu. Dua jam telah berlalu. Namun Davin tidak muncul juga. Kalaupun ia sedang mencari makanan untukku, kenapa dia tidak lekas kembali?

Ah, mungkin dia sedang mengambil sesuatu di rumahnya atau ada hal lain yang harus ia kerjakan. Biarlah aku tetap di sini, menunggu Davin, mungkin ia akan segera kembali.

Namun sayang, waktu terus berlalu. Aku melirik arlojiku. Waktu menunjukkan pukul 14.55

Orang-orang yang sejak pagi stand by di dekat Museum Fatahillah, melihatku miris. Aku, dengan tampang kusutku masih duduk di bangku taman, dengan satu alasan: menunggu Davin.

Entah sampai kapan aku akan menunggunya. Aku tak tahu. Mungkin sampai waktunya tiba.

Hari sudah mulai gelap. Purnama menampakkan sinarnya dengan terang benderang. Hanya aku sendirian, tidak ditemani sang bintang. Hanya aku sendirian, membusuk di bangku taman. Hanya aku sendirian, menunggu seseorang yang tega membiarkanku kedinginan di kegelapan malam.
***


Aku lelah. Aku lelah mencari Davin. Aku pun memutuskan untuk pulang. Sekali lagi aku melirik arlojiku. Waktu menunjukkan pukul 02.15

Malam masih larut. Aku menyusuri jalanan kota tanpa tahu batas maksimal kecepatan. Lenggangnya jalanan ibu kota sangat mendukungku untuk meredam emosiku. Aku mengendarai mobilku dengan membabi buta.

Sekitar setengah jam kemudian, aku telah sampai di rumahku. Aku membuka pintu gerbangku sendiri, karena satpamku tertidur dengan pulas dan aku sedang tak ingin mengganggu tidurnya.

Setelah aku memasukkan mobilku ke dalam rumah, aku turun dari mobil.

Mataku tak kuat menahan kantuk. Badanku capek, tubuhku tidak fit. Aku merasa sebagian tubuhku tidak bekerja dengan maksimal. Aku merasa bahwa sebagian dari diriku sudah tidak normal.

Aku berjalan sempoyongan untuk masuk ke dalam rumah. Namun sayang, pintu rumah tertutup. Mau tak mau, aku harus mengetuk pintu rumah, karena bel rumah ada di depan pintu gerbang. Aku tak mungkin berjalan kembali menuju gerbang. Cara berjalanku saja sudah tidak karuan.

Aku mengetuk pintu untuk yang kedua kalinya. Namun belum ada jawaban.

Kemudian aku mengetuk pintu untuk yang ketiga kalinya. Namun sayang, tubuhku sudah remuk terlebih dahulu.

Aku ambruk di depan pintu rumahku.
***

“Diminum tehnya, Ra...”

Aku pun mengambil teh hangat kemudian meminumnya dengan perlahan. Aku hanya menghabiskannya seperempat gelas.

“Kamu sudah baikan, Ra?” tanya Kak Nara dengan rasa cemas.

“Sudah baikan kok, Kak. Kak Nara jangan khawatir denganku...” jawabku dengan suara yang masih lemah.

“Aku nggak mau kamu kayak dulu lagi,” lanjut Kak Nara.

“Enggak, Kak. Itu nggak akan terjadi lagi...” jawabku meyakinkan Kak Nara.

Aku sedang bersandar di sandaran tempat tidurku. Mama dan Kak Nara ada di sisi tempat tidurku. Mereka mengkhawatirkan keadaanku.

“Apa yang terjadi dengan kamu sampai kamu kayak gini, Maura sayang?” tanya Mama dengan lembut.

Mama membelai rambutku. Aku tak sanggup berbicara. Aku ingin menangis lagi. Tapi aku lelah menangis. Aku lelah menangisi Davin.

Mata Mama dan Kak Nara memperlihatkan kekhawatirannya padaku. Raut wajah mereka mencemaskanku yang lagi-lagi terpuruk.

Mau tak mau, aku harus menceritakan pada mereka berdua tentang apa yang terjadi padaku. Setidaknya rasa cemas mereka terkurangi.

“Davin menghilang lagi.”
***

Cinta itu perngobanan untuk membuat orang yang dicintai merasa bahagia, tapi bukan berarti harus mengorbankan diri sendiri
– Covalimawati -

Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

Posting Komentar