Puas Kulineran di Festival Lampion Solo

Konten [Tampil]
Assalamualaikum wr wb

Kali ini saya akan melanjutkan cerita perjalanan saya di Solo. Cerita sebelumnya bisa baca di sini ya:

Malam itu, usai makan sego liwet dan nyobain susu segar Boyolali, kami langsung cus ke Festival Lampion Solo. Sebuah festival perayaan imlek yang diselenggarakan oleh Pemkab Surakarta bersama Bank Jatim.

Alhamdulillah, dikasih kesempatan untuk datang ke Festival Lampion di Solo. Sebuah event tahunan untuk perayaan Imlek. Lokasinya selalu di Pasar Gedhe, atau wilayah Pecinan. Waw, rame banget. Apalagi malam itu adalah Malam Minggu.

festival-lampion-solo

Muter-Muter Cari Tempat Parkir di Festival Lampion Solo

Sebelum tiba di Festival Lampion Solo, kami berkeliling Pasar Gedhe untuk mencari tempat parkir yang strategis. Muter-muter sana-sini demi cari tempat parkir yang enak. Saat berkeliling, saya mendapati banyak warung lalapan atau angkringan di pinggir jalan.

Lalu saya terbelalak kaget kala mendapati tulisan pada banner warung “Babi Kecap”. Iya, jualan makanan babi kecap dan terpampang nyata di banner warung pinggir jalan. Bukan maksud rasis atau apa ya, melainkan hal seperti ini jarang saya temui di Lumajang maupun Jember. Hohoo… Jadi ini sesuatu yang sama sekali berbeda buat saya. Dan saya dibuat takjub olehnya. Toleransinya setinggi itu.

festival-lampion-solo

Eh bukan berarti toleransi di Jember dan Lumajang rendah ya, hanya saja orang-orang Chinese penyuka daging babi tidak terlalu terekspose oleh masyarakat. Di sini lebih dominasi masyarakat lokal yang menganut kultur budaya Islam.

5 menit kemudian, kami memutuskan untuk parkir sepeda motor di tempat parkir pada umumnya. Hahaha.

Lalu, baru keluar dari tempat parkir, kami mendapati banyak aneka jajanan kuliner receh-receh kesukaan anak-anak SD, hoho. Mulai dari cilok, cireng, cimol, tahu goreng, dll. Bakso dan mie juga ada. Wuah, saya jadi penasaran dengan kuliner yang digelar di dalam Festival Lampion Solo. Kira-kira seenak apa ya?

Meriahnya Warna-Warni Lampion Solo

Festival lampionnya sungguh meriah. Dereta lampion warna-warni bergelantungan di atas jalanan. Mulai dari sekitar tugu Pasar Gedhe hingga jembatan. Mungkin ada 1000 lampion di sini. Berwarna-warni. Tidak hanya merah saja. Membuat acara festival lampion di sini semakin semarak.

festival-lampion-solo

festival-lampion-solo

festival-lampion-solo

festival-lampion-solo

Kuil di Dekat Pasar Gedhe yang Juga Meriah

Rupanya, di dekat Pasar Gedhe ada kuil untuk tempat sembahyang orang Konghucu. Kuilnya dihiasi lampu warna-warni. Selain itu, bau dupa juga amat terasa hingga keluar kuil. Khas sekali. Tentu saja, kuil ini masih digunakan oleh orang-orang untuk sembahyang. Kami melihat mereka keluar masuk kuil.

festival-lampion-solo

Pasar Gedhe dan Tugu Jam

Saat tiba di Pasar Gedhe, saya takjub dengan bangunannya. Khas arsitektur Belanda. Belum dipugar sama sekali. Berdiri kokoh sejak jaman Belanda. Keren sih ya, sebuah pasar yang ramai orang, bangunannya masih sekuat itu untuk berdiri hingga 100 tahun lamanya. Saya dibuat takjub karenanya. Sebab, saya jarang banget menemukan bangunan peninggalan Belanda di tempat tinggal saya.

Nah, di depan Pasar Gedhe, ada sebuah tugu yang menarik perhatian saya. Tugu Jam. Ada 4 jam yang menunjukan ke 4 mata arah angin berbeda. Tugunya kokoh sekali. Tingginya mungkin 4 meter. Ada tulisan berbahasa jawa kuno di sana, yang tak mampu saya baca, hehe.

festival-lampion-solo

Konon katanya, dulu Tugu Jam ini sempat terendam oleh banjir. Pasar Gedhe dan wilayah di sekitarnya pernah tergenang banjir hingga setinggi itu, hasil luapan dari Sungai Bengawan Solo. Hingga akhirnya Waduk Gajah Mungkur selesai dibangun, banjir tidak pernah lagi terjadi di Pasar Gedhe. Waw, ternyata seberpengaruh itu ya pembuatan waduk untuk mengatasi banjir.

festival-lampion-solo

Makan Sate Kere Khas Solo

Ini nih, sate kere yang amat terkenal di Solo. Kekhasannya terkenal hingga mancanegara. Saya berulang kali mendengar Sate Kere di ulasan-ulasan acara tv. Saya tahu kok, bagaimana asal muasal adanya sate kere. Yang saya belum tahu itu rasanya. Seenak apa sih?

Asal muasal sate kere ini, yaitu dulunya orang-orang yang terjajah Belanda enggak mampu beli kedelai atau olahan tempe. Mereka mampunya mengambil ampas-ampas kedelai itu lalu diolahnya. Salah satu olahannya yang terkenal dan abadi hingga sekarang adalah sate ini. Nah, oleh orang-orang, sate ini disebut sate kere. Karena bahan bakunya berasal dari ampas kedelai dan dimakan oleh orang-orang yang enggak mampu alias kere padahal jaman dulu.

sate-kere-solo

Keberadaan sate kere ini tetap lestari hingga kini. Ada boothnya di acara Festival Lampion Solo. Kami beli 1 porsi. Soalnya pengen nyobain. Maunya sih nyobain 1 tusuk aja ya, ternyata enggak boleh. Jadinya kami beli 2 tusuk sate kere, 1 tusuk sate cecek (kulit sapi) dan 1 tusuk sate babat (kayaknya sih).

Harga sate kerenya 2.000 rupiah per tusuk. Enggak kere-kere banget sih harganya, cenderung mahal. Bahkan lebih murah sate ayam toh? Hohoo…

sate-kere-solo

Lalu bagaimana rasanya? Saya bilang ke si Mas, rasanya enak.

Tapi saat saya chattingan dengan Ibu dan ditanya soal rasa sate kerenya, saya blak-blakan bilang enggak enak. Masih lebih enak tahu atau tempe gembus (ampas tahu tempe juga) yang ada di Lumajang. Peh, chattingan saya dan Ibu enggak sengaja terbaca oleh si Mas. Wuaaaa, si Mas kaget sih saat tahu ternyata menurut saya rasanya enggak enak.

Ya gimana ya. Ampas tahu tempe, dipadatkan, dikasih bumbu kecap khas Solo, lalu dibakar. Haduh, kan mblenek-mblenek gimana gitu. Kan mending ditepung bumbu lalu digoreng. Jadinya crispy. Enak. Sepertinya ini kali terakhir saya makan sate kere khas Solo, hahaha…

Nyobain Sate Cumi

Ada banyak booth di Festival Lampion Solo. Yang berbeda dengan yang di Lumajang adalah sate cumi, sate gurima, dan sponge. Pengen sih nyobain sponge asap, tapi khawatir enggak habis. Jadinya saya lebih memilih sate cumi. Sementara si Mas pengen satu gurita. Yak mari kita cobain satu persatu…

Sate cuminya sudah tersedia di booth. Potongan kecil-kecil gitu. Dipanasi di atas loyang lebar. Bumbunya cuma bumbu saos. Karena belum pernah coba, akhirnya kami coba. Cuma beli 1 saja. Harganya 5.000.

sate-cumi-bakar

Lalu bagaimana rasanya? Biasa aja. Masih enak olahan cumi buatan saya atau Ibu, hehe. Di sini enggak diolah dengan benar-benar matang. Dagingnya masih agak alot. Bumbunya ala kadarnya. Enggak meresap banget. Juga, bau amisnya masih terasa. Jadi yaa, cukuplah nyobain sate cumi sekali ini saja. Kecuali kalau suatu hari nanti kangen sate cumi, hehe.

Mampir Ke Balai Kota Solo

Sebenarnya masih pengen banget sih icip-icip kulineran di Festival Lampion Solo secara berkelanjutan. Tapi perut meronta-ronta kekenyangan eh. Enggak bisa kalau disantap sekaligus. Perut kudu diajak jalan atau keliling dulu.

Lalu si Mas ngajak saya mampir ke sebuah pendopo. Pendopo Balai Kota Solo. Terbuka cuy tempatnya. Banyak anak muda yang nongkrong dekat sana. Saya juga pengen duduk-duduk di sini. Tapi kok enggak ada tempat duduk yang enak ya.

balai-kota-solo-malam-hari

Maka kami memutuskan lanjut jalan saja kembali ke area Festival Lampion Solo. Di depan jembatan, sedang ada acara aksi pengamen jalanan. Pengamen tapi pakai alat perkusi. Lengkap dengan penarinya. Pemimpin penarinya banci euy, hahaha. Menyemarakkan suasana bangeeet.

balai-kota-solo-malam-hari

Nyobain Sate Gurita

Dirasa perut sudah agak kosong sedikit, kami lanjut membeli sate gurita. Sate gurita ini yang dijajakan adalah tentakel atau kaki-kakinya. Saat dipanasi di loyang, dibakar juga pakai pembakar yang kayak semprotan itu loh. Enggak tahu namanya.

Lalu bagaimana rasanya? Sama saja… Hahaha… Rasanya hampir sama dengan sate cumi. Tapi minimal saya pernah punya pengalaman makan gurita, hoho.

sate-gurita

sate-gurita

sate-gurita

Saat saya antri membeli sate gurita, si Mas membeli es krim. Es krim contong yang lumayan enak itu loh, yang harganya 3000an. Es krimnya dikasihkan ke saya dong, didulangkan. Hoho. Mak so sweet banget sih. Kan saya jadi pengen diginiin terus yak. Hahaha.

Naik Perahu di Sungai Berlampion

Kebetulan, di dekat Pasar Gedhe malam itu sedang ada wisata perahu dayung. Menyusuri sungai sekitar Pasar Gedhe. Yang membuat berbeda adalah di atas sungainya ada lampion-lampion yang memeriahkan Festival Lampion Solo.

perahu-lampion

Uwiii pengen banget naik perahu. HTM-nya 10.000/orang. Sayangnya, antriannya panjang. Kami harus antri kurang lebih 40 menit. Fiuh, enggak deh. Kami cukup menikmatinya dari jauh saja.

Nyicip Dawet Telasih

Sebelum pulang, si Mas ngajak nyicipin dawet telasih. Ya dawet, tapi ditambahin telasih/selasih. Telasih ini yang bentuknya kayak semut-semut kecil itu loh. Kami beli 1 saja. Dimakan berdua. Biar so sweet. Hohoo… Seger euy dawetnya.

Alhamdulillah… usai sudah kisah kami menikmati kulineran dan jalan-jalan di Festival Lampion Solo. Seneng banget. Bisa puas-puasin kulineran, mengenal tugu jam yang ternyata pernah terendam banjir, mencium aroma dupa dari kuil, melihat arsitektur Pasar Gedhe yang khas Belanda banget, juga menikmati indahnya ribuan lampion yang menghiasi jalanan malam itu.

dawet-telasih

Maklum, saya enggak pernah sekalipun melihat lampion secara nyata. Selama ini, saya enggak pernah ada kegiatan yang bersinggungan dengan lampion. Terlebih lagi lampion dengan ornamen China. Jadi, bisa berkesempatan untuk menikmati Festival Lampion Solo ini adalah salah satu momen yang luar biasa bagi saya. Alhamdulillah…

festival-lampion-solo

Selanjutnya… kami pulang. Berkeliling kota Solo naik sepeda motor. Saya memeluk si Mas erat-erat dari belakang. Berharap malam tak segera usai. Namun apa daya, waktu terus berlalu. Kami harus beristirahat. Sebab keesokan harinya kami akan lanjut main ke Magelang. Tunggu cerita selanjutnya yaa…

Wassalamualaikum wr wb
Rhoshandhayani KT
Rhoshandhayani, seorang lifestyle blogger yang semangat bercerita tentang keluarga, relationship, travel and kuliner~

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar